Youjitsu 2st Year Volume 2

[Revisi]Bab 2: Waktu yang Mengalir

- 38 min read - 8061 words -
Enable Dark Mode!

BAB 2 : WAKTU YANG MENGALIR

April, dimana semua hal yang menengangkan terjadi, telah berakhir dan sekarang, sudah hampir dua minggu sejak awal bulan Mei.

Siswa yang dikirim dari White Room masih belum menunjukkan pergerakan. Kalau tidak salah.. dia berada di luar kendali Tsukishiro, sebenarnya apa yang dia pikirkan? Tapi aku tidak akan mengeluhkan hal itu selama aku bisa menjalani kehidupan yang damai.

Tentu saja ada pula siswa lain yang ingin mengeluarkanku karena alasan pribadi, tapi untuk sementara waktu ini situasiku bisa di bilang masih aman.

OAA, aplikasi yang memperlihatkan dan memperbarui nilai siswa setiap bulan, dan di aplikasi itu juga, aku bisa melihat pembaruan untuk kelas dua.

Aku mendapatkan nilai sempurna pada ujian khusus di bidang matematika, total nilaiku dari lima mata pelajaran adalah 386 poin. Hasilnya, penilaian akademikku menjadi A-. Nilai kemampuan keseluruhanku tampaknya jadi lebih tinggi dari yang kuharapkan. Sedangkan nilaiku di bidang lain tidak mengalami banyak perubahan dari tahun lalu.

2-D Ayanokouji Kiyotaka

Hasil evaluasi kelas dua :

Akademik : A- (81)

Fisik : B (61)

Adaptasi : D+ (40)

Kontribusi Sosial : B (68)

Kemampuan Keseluruhan : B- (62)

Siswa yang mendapat penilaian A di bidang akademik tahun lalu, seperti Horikita dan Mii-chan, mempertahankan keunggulan mereka. Kemungkinan siswa yang mencetak nilai lebih dari 400 poin pada ujian khusus sebelumnya, mendapat penilaian A atau lebih tinggi di bidang akademik.

Aplikasi OAA menampilkan peningkatan semua siswa, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, siswa yang meningkat paling drastis adalah Sudou.

2-D Sudou Ken

Hasil evaluasi kelas dua :

Akademik : C (54)

Fisik : A+ (96)

Adaptasi : C- (42)

Kontribusi Sosial : C+ (60)

Kemampuan Keseluruhan : B- (63)

Mengingat dirinya tahun lalu, nilai keseluruhannya adalah C dengan 47 poin, bisa dikatakan ini adalah perkembangan yang luar biasa.

Kemampuan fisiknya yang sudah tinggi dari awal juga meningkatkan evaluasinya.

Memang benar itu hanya nilai di OAA, tapi kemampuan keseluruhannya melebihi Akito dan Keisei.

Jika di masa depan dia bisa meningkatkan akademik dan kontribusi sosialnya, ada kemungkinan dia bisa sebanding dengan Yousuke dan Kushida. Ini hal yang bagus jika dia menjadi salah satu siswa berprestasi.

Namun, terkait dengan kemampuan beradaptasi dan kontribusi sosial tahun ini… aku berasumsi pihak sekolah menggunakan data tahun lalu untuk memutuskan nilai di bidang tersebut. Lagipula, hubungan pertemanan dan keterampilan komunikasi tidak akan berubah secara instan karena kami baru saja naik kelas. Itu sebabnya, jika Sudou serius menjalani kehidupan sekolah selama enam bulan ke depan, nilai kontribusi sosialnya pasti akan meningkat, meskipun hanya sedikit.

Selain Sudou, kemampuan keseluruhan siswa yang lain juga meningkat dari tahun lalu. Sebagian besar mereka adalah siswa yang menerima penilaian rendah di bidang kontribusi sosial ataupun kemampuan beradaptasi, atau bahkan keduanya. Dengan kata lain, mereka telah mengalami peningkatan di bidang tersebut.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Horikita datang dari lantai atas sedikit lebih awal dari waktu yang dijanjikan.

“Aku tidak menunggu terlalu lama.”

Kami tidak berbicara di lobi dan langsung berjalan menuju sekolah.

Lebih mudah bagi kami melakukan percakapan di luar ruangan.

“Aku berterima kasih padamu. Berkatmu, aku tidak perlu menerima perhatian yang berlebihan dari teman sekelas. Itu juga meninggalkan kesan yang serupa pada kelas-kelas lain.”

Hampir tidak ada efek langsung pada kelas lain, selain membuat mereka lebih waspada.

Sakayanagi dari Kelas A sudah mengetahui tentang diriku sebelumnya, dan Ryuuen pernah kuhajar habis-habisan, dia pasti tahu kalau keahlianku bukan hanya di bidang matematika saja. Dari kata-kata Ichinose, dia merasa aku bukan orang yang biasa.

“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya berpikir itu lebih baik untuk kelas kita di masa depan. Jika aku mengatakan kamu menahan diri atas keinginanmu sendiri,

mereka akan membencimu, kan? Ngomong-ngomong, apa yang akan kamu lakukan jika aku tidak ada di sana saat itu?”

“Entahlah.”

Aku pura-pura tidak tahu, tapi hasilnya akan tetap sama.

Aku akan mengatakan itu adalah salah satu strategi Horikita, kemudian aku akan menunggu hari lain untuk membicarakan topik itu lagi. Horikita pasti bisa menyadari niatku, tanpa harus menjelaskannya secara detail.

“Aku sekedar memberi bantuan padamu.”

“Kalau begitu, aku akan menerimanya dengan senang hati.”

Horikita melirik tangan kiriku.

“Apa tangan kirimu sudah sembuh?”

“Proses penyembuhannya agak lambat. Ini akan memakan waktu cukup lama, tapi aku tidak begitu masalah dengan ini, karena bukan tangan dominanku.”

“Baguslah… Ngomong-ngomong, apa kamu melakukan kontak dengan Housen-kun sesudah itu?”

“Tidak ada. Aku pernah berselisih jalan satu kali dengan Housen dan Nanase, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.”

Meskipun mata mereka bertemu dengan mataku, tidak ada satupun dari mereka yang menyapaku.

“Mereka tidak datang mengucapkan permintaan maaf, tapi setidaknya mereka sadar telah melakukan sesuatu yang buruk.”

“Menurutku mereka tidak merasa seperti itu.”

“Keduanya?”

“Ya.”

Mereka menjalankan rencana itu tanpa ragu sedikitpun. Siswa baru tahun ini bisa dibilang sangat berani.

“Itu… jika seseorang berhasil mengeluarkanmu, apa benar mereka akan mendapatkan 20 juta poin?”

“Saat ini aku tidak punya bukti apapun mengenai hal itu. Tapi, kalau hadiahnya tidak ada, kurasa tidak akan ada yang mau melakukan hal itu.”

“Benar juga…”

Aku tidak dapat membayangkan ada orang yang mau terluka dan menerima resiko dikeluarkan hanya untuk melakukan sesuatu yang tidak berguna.

Palingan yang mau melakukannya adalah siswa dari White Room.

“Sebentar lagi akan jelas apakah itu benar atau tidak.”

“Tapi―itu bukan perkembangan yang baik. Meskipun ujian itu tidak masuk akal, jika itu ujian khusus, keempat kelas di kelas satu pasti mengetahuinya, kan?”

“Nanase juga berkata begitu, untuk membuat kita waspada terhadap kelas satu lainnya.”

Kalau perkataannya memang benar, setidaknya ada beberapa orang dari tiga kelas yang tersisa (Kelas 1-A, Kelas 1-B, Kelas 1-C) mengetahui ujian tersebut.

“Amasawa-san, Kelas 1-A… kita berhutang budi padanya atas kerja samanya dengan Sudou-kun, tapi dia bersekongkol dengan Housen-kun, kan?”

Aku mengangguk sedikit. Amasawa Ichika Kelas 1-A hampir dipastikan sebagai orang yang tahu mengenai ujian khusus 20 juta poin. Sisanya siswa Kelas 1-B dan siswa Kelas 1-C, aku tidak tahu siapa di antara mereka yang mengetahui ujian khusus itu.

“Jadi sampai sekarang, sudah ada tiga orang yang bertindak untuk mengeluarkanmu?”

“Ya, setahuku begitu.”

“Ada yang sedikit aneh… Bahkan jika banyak siswa yang takut padanya, Housen-kun seharusnya tidak bisa memnopoli itu dari siswa kelas satu lainnya. Apa mereka benar-benar mengabaikannya sementara dia merebut poin itu untuk dirinya sendiri?”

Aku selalu memikirkan bagian itu. Namun, sangat sulit untuk mempersempit kemungkinannya.

Apakah mereka berpikir Housen dan Nanase tidak cukup untuk membuatku dikeluarkan dari sekolah?

Atau sejak awal mereka tidak berencana mengikuti ujian khusus tersebut?

Horikita yang berjalan di sebelahku, juga tidak mengetahui jawabannya.

Aku mengubah topik pembicaraan.

“Menurutmu.. kenapa mereka tidak membagikan informasi itu pada siswa kelas satu lainnya?”

Aku meminta pendapat Horikita, karena topik ini nantinya akan tetap dibahas.

“Itu… jika seluruh siswa kelas satu diberitahu tentang ujian khusus untuk mengeluarkanmu, dalam waktu dekat ada kemungkinan siswa kelas dua dan siswa kelas tiga juga akan mengetahuinya. Mendengar ujian khusus yang tak masuk akal, kelas kita pasti akan melakukan segala upaya untuk menghadapinya. Mereka sengaja menggunakan bertindak begitu agar teman-teman sekelas kita tidak mengetahuinya, benar kan?”

Tidak perlu diragukan bahwa jawaban Horikita itu benar. Tapi ada satu hal yang harus diperhatikan.

“Apa sekolah benar-benar menyetujui ujian khusus yang tidak masuk akal ini…?”

“Aku diam-diam sudah mengkonfirmasinya pada Chabashira, tapi dia sepertinya tidak mengetahui hal itu.”

Meskipun aku tidak mengkonfirmasi secara langsung, aku yakin bahwa Chabashira tidak mengetahuinya.

“Menurut pemikiranku, ada dua kemungkinan. Salah satunya adalah Housen dan Nanase menipu kita, dan ujian khusus untuk mengeluarkanku itu sebenarnya tidak ada. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, mereka tidak mungkin mau melakukan hal itu tanpa menerima hadiah. Berdasarkan itu, kita bisa membuang kemungkinan ini.”

“Mm.”

“Kemungkinan lainnya itu bukanlah ujian khusus. Dengan kata lain, seseorang menawarkan 20 juta poin untuk mengeluarkanku, dan menghasut siswa kelas satu.”

“Aku mengerti. Lebih masuk akal jika ada orang yang menawarkan hadiah untuk mengeluarkanmu.”

Msekipun masih berupa kemungkinan, itu tidak melanggar aturan sekolah. Ketika memikirkan berbagai kemungkinan, Horikita perlahan mendekati kebenaran.

“Dengan kata lain, seseorang di angkatan yang sama atau di atas kita sudah menyiapkan poin sebanyak itu?”

Horikita tidak mengetahui tentang Tsukishiro, wajar jika perkiraannya sebatas itu.

“Meskipun kita menyimpulkan bahwa ini adalah permainan yang dibentuk oleh siswa kelas satu, aku tidak berpikir mereka memiliki modal dan kepercayaan diri untuk

mencapai kesepakatan, karena mereka baru saja masuk sekolah, jadi kemungkinannya cukup rendah.”

“Seseorang yang dapat membayar 20 juta poin… dan bisa dipercaya oleh siswa kelas satu…”

Setelah memikirkan berbagai kemungkinan yang ada, seseorang terlintas di benak Horikita.

“―Ketua OSIS.”

Gumam Horikita sambil terkejut.

“Apa mungkin Ketua OSIS Nagumo terlibat dalam hal ini?”

“Memang benar dia tidak menyukaiku, tapi rasanya tidak mungkin dia mau mengeluarkan 20 juta poin hanya untuk mengeluarkanku. Aku sedikit ragu dengan itu. Terlebih lagi, rasanya agak aneh jika Nagumo menggunakan siswa kelas satu yang belum diketahui kemampuannya.”

Jika dia memang ingin mengeluarkanku lewat tangan orang lain, lebih masuk akal jika dia menggunakan siswa kelas tiga yang berada di bawah kendalinya.

“Tapi, masih ada kemungkinan dia berkaitan dengan hadiah itu.”

Tidak ada bukti yang bisa menyangkal itu.

Dengan menyandang gelar Ketua OSIS, siswa kelas satu tidak akan meragukannya sedikitpun.

“Mungkin tanpa kamu sadari, kamu membuat Ketua OSIS Nagumo cemburu sosial padamu. Ketua OSIS Nagumo selalu mengagumi kakakku yang sangat tertarik padamu. Tidak mengherankan jika dia memiliki perasaan yang rumit sepertiku.”

Ada kemungkinan itulah alasannya.

“Meskipun ini agak telat, aku akan membahas topik utama kita. Sepulang sekolah nanti, aku akan menemui Ketua OSIS Nagumo dan mengajukan permintaan untuk bergabung dengan OSIS.”

“Begitu ya.”

Setelah melalui beberapa tikungan dan belokan, ini adalah jalan yang bagus untuk membereskan tindakan Nagumo yang selalu dikhawatirkan oleh Manabu.

“Tapi, jika Ketua OSIS Nagumo tidak mengizinkanku untuk bergabung, aku tidak mau tau.”

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, Ketua OSIS tidak akan menolak siapapun yang datang padanya.”

“… Kamu memang pernah bilang begitu.”

Pada saat kelulusan Manabu, Horikita merasa sangat sedih, tapi dia masih mengingat perkataanku. Nagumo pernah berkata akan menyambut siapapun untuk bergabung dengan OSIS, tapi kurasa bukan hanya itu saja. Adik perempuan dari Horikita Manabu yang dikaguminya. Dia tidak akan mengabaikan keberadaan yang penting itu.

“Kamu ingin aku bergabung dengan OSIS untuk memata-matai Ketua OSIS Nagumo … tapi sebenarnya, bukan itu saja, kan?”

Horikita bertanya padaku bagaimana dia harus bertindakan setelah bergabung dengan OSIS.

“Aku yakin kau sudah menyadarinya sedikit. Pemikiran kakakmu sangat berbeda dengan Nagumo. Kakakmu tidak menyetujui reformasi yang dilakukan Nagumo karena menghargai tradisi lama. Tepat sebelum pergi, dia bilang padaku … kelas adalah sebuah komunitas dimana siswa berbagi nasib yang sama. Dia tidak ingin sistem itu diubah.”

“Apa yang sedang dilakukan OSIS sekarang, sangat berkebalikan dengan sistem tersebut.”

“Tapi aku tidak akan menilai siapa yang benar dan siapa yang salah di sini. Sekarang, aku hanya ingin melihat reformasi yang dilakukan Nagumo.”

“Jadi kamu tidak akan memberiku instruksi khusus?”

“Mm.”

“Kalau kamu hanya ingin melihat reformasi, kenapa kamu memintaku untuk bergabung dengan OSIS? Aku harusnya tidak perlu memata-matai OSIS.”

“Jika Nagumo mengambil jalan yang salah, bagaimanapun caranya aku harus menghentikannya.”

Seharusnya bukan aku yang menghentikannya, tapi adik perempuan Horikita Manabu, yaitu Horikita Suzune.

Demi membuatnya mau melakukan tugas yang tidak masuk akal itu, aku mengusulkan syarat itu jika aku menang taruhan dengannya.

“Masih ada beberapa hal yang membuatku tidak puas, tapi aku akan melakukannya.”

Itu pasti berkaitan dengan ‘hadiah’ yang Horikita sebutkan tadi.

(Tl note : ‘ 20 juta poin untuk mengeluarkan Kiyo)

Dengan memasuki OSIS, kemungkinan untuk mendapatkan informasi itu akan meningkat.

“Kupikir tidak baik jika aku meminta sesuatu setelah aku kalah taruhan denganmu, tapi, apa kamu mau ikut denganku?”

“Ikut denganmu?”

“Ya, aku ingin menunjukkan padamu bukti bahwa aku menemui Ketua OSIS Nagumo.”

Dia ingin menunjukkan padaku bahwa dia tidak berbohong seandainya Nagumo menolaknya bergabung dengan OSIS.

“Jika Ketua OSIS Nagumo berkaitan dengan hadiah itu, kita mungkin bisa melihat semacam reaksi darinya.”

Memang benar, kami mungkin akan mendapat petunjuk tentang hadiah 20 juta poin tersebut.

“Aku mengerti. Bagaimana kalau setelah pulang sekolah?”

Setelah membuat janji dengan Horikita, kami memulai kehidupan sekolah hari ini seperti biasa.

Bagian 1

Sepulang sekolah, kami berdua berjalan menuju ruang OSIS.

“Apa kau sudah membuat janji sebelumnya dengan Ketua OSIS?”

Jika berkunjung tiba-tiba, tidak ada jaminan Nagumo berada di ruang OSIS.

“Tentu saja, beberapa waktu sebelumnya aku sudah meminta Chabashira-sensei untuk mengatur pertemukanku dengan Ketua OSIS Nagumo. Namun mereka menundanya sampai hari ini. Tapi itu mungkin ada baiknya juga, karena saat ini aku lebih termotivasi untuk bergabung dengan OSIS.”

“Apa karena masalah hadiah itu?”

“Ya. OSIS seharusnya menjadi pihak netral di sekolah ini, jika mereka terlibat dalam ujian khusus untuk mengeluarkanmu, itu berarti mereka tidak adil pada kita Kelas 2-D … Aku tidak bisa terima begitu saja.”

Aku menatap Horikita yang berjalan di sebelahku, wajahnya dipenuhi dengan tekad yang kuat.

“Memiliki motivasi itu memang bagus, tapi jangan terlalu bersemangat. Belum ada bukti kalau Nagumo berkaitan dengan hadiah itu. Bahkan jika dia memang terlibat, dia bukan lawan yang bisa kau hadapi seorang diri.”

Nagumo tidak akan membatalkan ujian itu hanya karena permintaan dari kami.

“Tentu saja aku tidak akan melakukan apa pun sampai aku merasa yakin.”

Aku lega mendengarnya, dia terlihat antusias dari biasanya, tapi dia masih bisa mengendalikan diri.

Tidak butuh waktu lama bagi kami berdua tiba di ruang OSIS, lalu kami membuka pintu.

“Permisi.”

Kami melangkah masuk ke dalam, kemudian terlihat Nagumo sedang duduk di kursi ketua OSIS.

Dia merentangkan kakinya dan menyapa Horikita, seolah-olah merasa seperti raja.

Melihat sikapnya itu, aku tidak merasa terganggu sedikitpun. Malahan aku merasa itu sangat cocok untuk dirinya yang suka menunjukkan kekuasaan.

Dia terlihat lebih tenang dari biasanya. Mungkin karena tidak adanya Horikita Manabu, yang memiliki pengaruh besar baginya.

Lalu, Wakil Ketua OSIS Kiriyama berdiri di sampingnya.

Setelah melihatku sebentar, Kiriyama segera mengalihkan pandangannya ke arah Horikita.

“Apa ada yang ingin kalian bicarakan?”

“Ya, terima kasih atas waktunya.”

Kiriyama mempersilahkan kami berdua untuk duduk, kami pun menurutinya dan duduk di kursi.

“Tidak perlu khawatir, aku punya waktu luang sekarang.”

Meskipun aku berdiri di hadapannya, sikap Nagumo tetap sama seperti biasa.

Jika dia memang berkaitan dengan ujian khusus untuk mengeluarkanku, tidak aneh jika dia menunjukkan sedikit reaksi, tapi…

“Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan? Kalian datang kemari bukan hanya untuk menyapaku saja, kan?”

Meskipun Nagumo terlihat menyambut kedatangan kami, dia meminta Horikita untuk mengatakan tujuan kami.

“Aku tahu waktumu sangat berharga, Ketua OSIS, jadi aku akan langsung ke intinya. Aku ingin bergabung dengan OSIS.”

Suara Horikita bergema di dalam ruang OSIS.

Mendengar itu, dua anggota OSIS yang ada di depan kami menunjukkan reaksi yang sama.

Bukan ekspresi untuk menerima atau menolak, melainkan terkejut.

“Kau ingin bergabung dengan OSIS?”

Nagumo yang awalnya terkejut, kini menjadi bersemangat.

“Aku ingin tahu, apa yang terjadi padamu? Sejujurnya, aku tidak ingin menjawab iya.”

“Itu berarti kamu tidak akan menerimaku?”

“Bukan begitu. Aku termasuk tipe orang yang tidak bisa menolak. Selama masih ada kursi yang kosong, aku akan menerima siapapun. Aku juga tidak tertarik dengan motif mereka. Apakah itu demi OAA, prospek di masa depan, atau rasa keadilan, itu semua terserah mereka…”

Tidak seperti Manabu, Nagumo bersedia menerima siapapun untuk bergabung dengan OSIS.

“Tapi kau berbeda, Horikita Suzune. Aku harus mengajukan satu syarat padamu.”

“Apa syaratnya?”

“Mengapa kau memilih untuk bergabung dengan OSIS saat ini juga? Beritahu aku alasannya.”

Apa dia merasa terancam karena aku menemani Horikita?

Tidak, Nagumo bukan tipe orang yang peduli dengan hal-hal kecil seperti itu.

Dia hanya ingin tahu alasan adik perempuan Manabu bergabung dengan OSIS.

Tentu saja Horikita tidak akan mengatakan alasannya ingin memasuki OSIS karena kalah taruhan denganku.

Meskipun masih ada peluang, mungkin ini adalah akhirnya.

Horikita tidak akan mendapat kepercayaan Nagumo.

“Di masa lalu aku berselisih dengan kakakku, jadi aku memutuskan untuk mendaftar ke sekolah ini agar dapat menyelesaikan perselisihan itu. Tapi, hubungan kami tidak berubah sedikitpun bahkan setelah aku memasuki sekolah ini.”

Meskipun Horikita menceritakannya dengan perlahan, Nagumo mendengarkan dengan cermat setiap perkataannya.

“Kakakku tidak mau mengakui diriku yang tidak berkembang sedikitpun. Akibatnya, aku tidak bisa berkomunikasi secara baik-baik dengannya, setidaknya sampai dia lulus.”

Horikita memilih secara selektif masa lalu yang dia ungkapkan.

“Lalu? Apa kalian sudah berbaikan?”

“Ya. Kami sudah berbaikan pada saat-saat terakhirnya di sekolah ini. Dan sekarang, aku menjadi tertarik dengan OSIS, tempat dimana Kakakku mengabdikan dirinya untuk sekolah ini. Meskipun aku telah mengambil jalan memutar selama ini, sekarang aku ingin berjalan di jalan yang sama dengan Kakakku.”

Sejak awal, Horikita tidak mau bergabung dengan OSIS.

Jika aku bertanya padanya apakah kata-kata itu berasal dari hatinya, dia akan menjawab [hanya setengah].

Tapi untuk mengelabui Nagumo yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebohongan, dia menutupinya dengan menggunakan beberapa fakta.

“Mengambil jalan yang sama dengan Kakakmu ya, cerita yang sangat menyentuh.”

Nagumo menjadi lebih waspada setelah mendengar cerita Horikita.

“Dengan kata lain, aku boleh berasumsi bahwa kau memiliki keinginan untuk menjadi Ketua OSIS?”

Tidak peduli apapun jawaban yang dia berikan sekarang, Nagumo tidak akan bisa diyakinkan dengan mudah.

Dalam hal ini, kebohongan yang sederhana akan berakibat fatal.

“Itu benar. Sama seperti Kakakku, aku juga ingin menjadi Ketua OSIS.”

Horikita memilih untuk menghadapi dinding besar yang ada di depannya.

Dan juga, tidak tersirat sedikit pun kebohongan di dalam kata-katanya.

Setelah memilih untuk bergabung dengan OSIS, dia seolah-olah termotivasi untuk mengejar sosok Manabu.

“Aku mengerti. Tapi Honami telah bekerja keras sebagai anggota OSIS selama setahun ini. Kau sudah tertinggal satu tahun dengannya untuk bersaing menjadi ketua OSIS. Kau mengerti itu, kan?”

“Menurutku itu bukan jarak yang tidak bisa kukejar.”

Horikita menjawab dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.

“Dia memang tidak mirip dengannya, tapi sekarang dia benar-benar terlihat seperti adik Horikita-senpai.”

Wakil ketua OSIS Kiriyama yang sejauh ini tetap diam, mulai bicara pada Nagumo.

“Aku merasa agak aneh memanggilmu Horikita. Memang benar, sebelumnya aku memanggilmu dengan margamu, tapi mulai sekarang aku akan memanggilmu Suzune, apa kau tidak keberatan?”

“Aku tidak keberatan.”

“Kami juga punya sedikit masalah karena anggota OSIS dari kelas dua hanya Honami seorang.”

Melalui pertanyaan langsung, Nagumo sedikit memahami pemikiran Horikita, dan mengizinkannya untuk bergabung dengan OSIS.

Kemudian Nagumo berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Horikita yang juga ikut berdiri, lalu dia mengulurkan tangan kirinya.

Horikita langsung menjabat tangan Nagumo.

“Selamat datang di OSIS. Mulai hari dan seterusnya, aku ingin kau bekerja keras untukku sebagai anggota OSIS, Suzune.”

“Tentu saja.”

“Sebagi ucapan selamat telah bergabung dengan OSIS, aku akan memberitahumu sesuatu yang menarik. Ketua OSIS di masa lalu selalu lulus sebagai siswa Kelas A. Ingat itu dan berusahalah untuk meraih tujuan yang lebih tinggi.”

Nagumo mengatakan itu seolah ingin memotivasi Horikita yang saat ini masih berada di Kelas D.

“Tidak perlu khawatir. Aku tidak berencana lulus di luar Kelas A.”

“Kalau begitu, tunjukkan padaku kalau itu bukan sekedar kata-kata saja.”

Jabat tangan yang berlangsung cukup lama di akhiri bersamaan dengan selesainya percakapan mereka.

“Aku Kiriyama, Wakil Ketua OSIS.”

“Senang bertemu denganmu.”

Setelah berjabat tangan dengan Kiriyama, Horikita resmi menjadi anggota OSIS.

Mulai hari ini, Horikita akan mengamati langsung tindakan Nagumo dari dekat.

Sistem meritokratis, sistem yang memberikan semua orang kesempatan untuk mendapatkan posisi mereka berdasarkan kemampuan masing-masing.

Ini sistem yang sangat menyimpang dari apa yang telah dipertahankan oleh Manabu, bagaimana Horikita akan menghadapi hal itu?

Kurasa tidak ada lagi tempat bagiku untuk masuk ke dalam pembicaraan. Aku juga tidak mendapatkan info tentang hadiah 20 juta poin itu, jadi aku mencari kesempatan untuk meninggalkan tempat ini.

Ketika aku akan pergi dari sini…

“Ngomong-ngomong, apa kau juga mau bergabung dengan OSIS, Ayanokouji?”

“Apa yang kau pikirkan, Nagumo? Bahkan sampai mengundangnya ke OSIS.”

Kiriyama terkejut mendengar usulan langka Nagumo.

“Itu bukan hal yang aneh. Dia berhasil menarik perhatian Horikita-senpai. Jika dia ingin bergabung, aku tidak punya alasan untuk menolak. Lagipula, pada ujian khusus sebelumnya.. dia adalah satu-satunya yang mendapat nilai sempurna di angkatannya.”

Dari cara Nagumo mengatakan itu, rasanya dia seolah baru menyadari keberadaanku.

Sepertinya dia sudah tahu semua informasi kelas satu dan kelas dua yang dipublikasikan.

“Aku menolak. Aku tidak cocok menjadi OSIS.”

“Aku tahu kau akan berkata begitu.”

Dia langsung menerima jawabanku seolah tawarannya itu hanya sekedar basa basi saja.

Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia mengarahkan pandangannya kepadaku lagi.

“Ayanokouji.”

Setelah memanggil namaku, kami saling menatap satu sama lain dalam keheningan.

“Ternyata pekerjaan OSIS lebih banyak dari yang kupikirkan, tapi sekarang aku sudah mulai sedikit santai, ketika musim panas nanti, aku akan menghabiskan waktu dengan para juniorku.”

Apa maksudnya?

Ketika aku akan bertanya begitu, dia kembali bicara.

“Aku akan bermain denganmu, nantikanlah.”

Itu tidak mencapai tingkat deklarasi perang.

Itu seperti perintah dari yang kuat ke yang lemah.

“Sakayanagi, Ichinose, Ryuuen. Orang-orang itu mungkin akan menangis dalam kegembiraan.”

Setelah mengatakan itu, Nagumo mengabaikanku sepenuhnya.

“Ngomong-ngomong, Kiriyama. Mengapa kau datang hari ini? Ini sangat langka.”

“… Apa maksudmu?”

“Biasanya ketika ada siswa kelas satu dan kelas dua yang ingin bergabung dengan OSIS, kau tidak pernah hadir. Tapi ketika mendengar Horikita Suzune ingin bertemu denganku, kau datang. Bukankah itu aneh?”

Nagumo mengatakan itu setelah percakapan berakhir. Aku merasa perkataannya itu juga tertuju padaku.

Perkataan Nagumo yang tiba-tiba itu terdengar agak aneh. Tentu saja aku juga tidak mengerti alasan Kiriyama berada di sini, tapi dia terlihat sedikit terguncang mendengar perkataan Nagumo.

“Aku sedikit tertarik dengannya, karena dia adalah adik Horikita-senpai. Apa ada yang salah dengan itu?”

Meskipun Kiriyama berusaha untuk tetap tenang, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya.

Nagumo tertawa dengan keras.

“Tidak ada. Lupakan saja perkataanku tadi.”

Nagumo merasa puas setelah melihat reaksi Kiriyama, dia tidak melanjutkan topik itu lebih jauh.

“Suzune, kau tetap di sini. Aku akan memperkenalkanmu dengan anggota OSIS yang lain.”

“Aku mengerti.”

Tidak ada alasan bagiku tetap berada di sini setelah menolak tawaran Nagumo.

Aku meninggalkan Horikita dan pergi dari ruang OSIS.

Bagian 2

Aku meninggalkan ruangan OSIS dan berjalan menuju gerbang sekolah.

Kiriyama, orang yang ingin menggulingkan kekuasaan Nagumo. Dia mendukung Manabu dan telah mencari berbagai cara untuk membuat rencananya berhasil, dia bahkan sampai melakukan kontak denganku saat aku masih kelas satu. Dia mungkin terlihat sudah menyerah, namun ketika mendengar adik Manabu akan bergabung dengan OSIS, ada kemungkinan dia akan mengambil tindakan.

Tapi, jika melihat Kiriyama hari ini, tampaknya pertarungan antara Kiriyama dan Nagumo sudah berakhir.

Aku bisa merasakan celah yang terbentuk di antara mereka berdua.

Yah… jika Kiriyama belum menyerah, cepat atau lambat dia akan bertindak.

“Baiklah, ini sudah cukup.”

Aku tidak ingin lagi berpikir untuk hari ini.

Aku akan langsung pulang dan menghabiskan hari ini dengan bersantai.

Aku mengeluarkan ponsel dan memeriksa waktu.

[Hei, jika kamu tidak ada keperluan hari ini… Bolehkah aku datang ke kamarmu?]

Sepertinya aku terlalu fokus memperhatikan pembicaraan di ruang OSIS, sehingga tidak menyadari pesan dari Kei.

Meskipun sudah 30 menit berlalu, Kei tidak menarik kembali pesannya, mungkin dia masih menunggu balasan dariku.

Meskipun ini sudah telat, aku memutuskan untuk membalas pesan Kei, lagipula aku juga tidak ada keperluan setelah ini.

Meski kami berpacaran, kami belum mengumumkannya ke publik.

Jika kami ingin menghabiskan waktu bersama tanpa diketahui orang lain, tempat yang bisa kami kunjungi cukup terbatas.

Bahkan di asrama tidak bisa dibilang aman. Jika ada yang melihat kami berduaan, itu akan berakibat fatal.

Tapi jika itu terjadi, kami akan mencari solusinya bersama.

[Apa kau ingin datang ke kamarku?]

Aku membalas pesannya, dalam waktu satu detik, pesan itu langsung terbaca.

Apa dia kebetulan sedang memainkan ponselnya? Atau sudah menunggu dari tadi?

[Aku akan datang!]

Balasan singkat dari Kei.

[Bolehkah aku datang sekarang!?]

Kei mengirim pesan satu demi satu. Aku membalas pesannya dan mengatakan kalau saat ini aku dalam perjalanan kembali ke asrama, aku juga mengatakan bahwa dia bisa datang kapan saja setelah 20 menit kemudian, tentu saja dengan menggunakan cara yang sama seperti biasa.

Seandainya ada siswa lain di lantai kamarku, Kei pasti bisa menanganinya.

Aku tiba di asrama dalam waktu 10 menit. Aku membiarkan pintu kamarku tidak terkunci dan membersihkan kamarku sebentar. Tidak lama kemudian aku mendengar ketukan pintu sebanyak tiga kali.

Aku dan Kei telah menetapkan beberapa kode untuk pertemuan rahasia. Meskipun kebanyakan menggunakan bunyi bel pintu, aku meminta Kei mengetuk pintu tiga kali dalam situasi mendesak. Kadang-kadang aku tidak bisa membuka dan menutup pintu dengan santai, karena ada banyak siswa yang lewat di asrama.

Aku juga mengizinkannya masuk tanpa sinyal jika dia berada dalam situasi darurat.

“Aku masuk!”

Kata Kei dan buru-buru masuk ke dalam kamarku.

Kemudian dia mendorong pintu hingga tertutup dan mengatur nafas untuk menenangkan dirimya.

“Aku sangat panik ketika melihat lift berhenti di lantai 4~”

Kei meletakkan tangannya di dada, mungkin karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Melewati koridor asrama secara diam-diam memanglah sulit, wajar jika Kei merasa panik.

“Kita tidak mungkin bisa menyembunyikan hubungan kita selamanya, kan?”

“Aku tahu itu…”

Aku menaruh sepatu Kei di rak sepatu.

Untuk berjaga-jaga, aku mengunci pintu dan memasang rantai berbentuk huruf U.

Dengan begini, bahkan jika ada yang datang, aku bisa memintanya pergi tanpa membiarkan mereka masuk ke dalam.

Namun, menggunakan kunci U di dekat pintu terlihat tidak wajar.

Awalnya aku tidak pernah berencana untuk melakukan ini, tapi aku berubah pikiran sejak kejadian dengan Amasawa.

Ini lebih baik daripada membiarkan orang lain masuk dan melihatku berduaan dengan Kei di dalam kamar.

Bahkan jika terjadi situasi mendesak dimana aku harus pergi, selama aku sudah siap untuk keluar, semuanya akan baik-baik saja.

Aku akan mengatakan kalau kamarku berantakan, dan meminta mereka menunggu di luar sebentar, lalu aku akan keluar.

Kemudian, setelah aku pergi, Kei bisa pergi diam-diam dari kamarku.

“Haah… Aku merasa lega.”

Kei duduk di kasur dan mengelus dadanya.

“Baguslah kalau begitu.”

Pada malam hari, asrama akan dipenuhi oleh siswa yang pulang sekolah.

Mengundang seorang gadis ke kamar sangatlah beresiko. Meski tidak banyak siswa yang akan keluar dari kamar, akan jadi masalah jika ada yang tahu seorang gadis berada di dalam kamarku malam-malam.

Itu sebabnya, lebih baik kami bertemu siang hari ketika libur, atau sore hari sepulang sekolah, agar kami dapat membuat alasan.

Bahkan jika hubungan kami terungkap, setidaknya kami tidak akan dianggap melakukan hal yang aneh.

“Apa kau ingin minum sesuatu?”

Aku menanyakan itu pada Kei setelah dia menenangkan dirinya. Kei terdiam sejenak, lalu dia berjalan menuju dapur.

“Biar aku yang melakukannya.”

“Ini mengejutkan, ada apa denganmu? Biasanya kau tidak akan mau melakukannya.”

“Kamu pasti kesulitan membuat minuman dengan tangan terluka, kan? Lihat saja aku, bahkan aku juga tahu cara merebus air!”

Sepertinya dia khawatir dengan tangan kiriku yang sedang terluka.

“Kalau begitu aku akan menyerahkannya padamu…”

“Baiklah. Aku mau minum teh hitam. Kiyotaka, kamu mau minum apa?”

“Aku… samakan saja denganmu, Kei.”

Aku ingin meringankan beban Kei, tapi itu malah jadi sebaliknya. Wajah Kei menjadi tidak senang.

“Kamu tidak percaya padaku, kan?”

“Bukan begitu … yah, kalau begitu aku mau kopi.”

“Serahkan padaku! Kopinya di tempat biasa, kan?”

Setelah mengatakan itu, Kei membuka lemari dapur.

Kemudian dia menyuruhku menunggu di ruang tamu, sepertinya dia sadar kalau aku terus menatapnya.

Akan sangat merepotkan jika membuat Kei sampai marah, aku menurutinya dan menunggu sambil menonton TV.

“Ngomong-ngomong, ada yang ingin kukatakan padamu, Kiyotaka, kamu memiliki tanggung jawab yang besar sekarang.”

Sesaat ketika aku mengambil remote TV, kata-kata itu terdengar dari dapur.

“Kenapa kau tiba-tiba membahas itu?”

“Akan sulit bagi kita untuk mengungkapkan hubungan kita, karena kamu mendapat nilai sempurna dalam ujian khusus di bidang matematika.”

Awalnya aku sedikit penasaran, tapi rupanya ini yang ingin dia katakan.

Memang benar, kalau Kei mengungkapkan hubungan kami sekarang, itu akan menyebabkan masalah…

“Entah apa yang akan terjadi jika kita memberitahu hubungan kita kepada orang-orang…”

“Jadi, kita akan tetap seperti ini untuk sementara waktu?”

“Mau bagaimana lagi… itu menyebalkan, aku seolah-olah berpacaran denganmu karena status.”

“Apakah berpacaran dengan seseorang karena status adalah hal yang buruk?”

“Tidak juga, aku tidak mengatakan itu buruk…”

“Berpacaran dengan gadis imut juga termasuk status bagi anak laki-laki, kan? Bukankah terlalu berlebihan jika melarang seseorang melakukan itu?”

Tentu saja prefensi setiap orang berbeda-beda, dan tidak ada yang mutlak.

Meski begitu, aku menyadari ada standar tertentu untuk setiap orang.

Aku membantah pendapatnya tentang pacaran karena status, tapi aku tidak mendengar balasan apapun darinya. Aku sempat berpikir dia sedang memikirkan cara untuk melawan, tapi nyatanya dia bergerak secara perlahan sehingga wajahnya terlihat dari dapur.

“A-Apa aku imut?”

Sepertinya dia tidak berpikir untuk melawan kata-kataku.

Dia hanya fokus pada perkataanku di bagian [pacaran dengan gadis imut].

“Apa menurutmu aku akan berpacaran dengan gadis yang tidak imut?”

Sudut bibir Kei sedikit terangkat, setelah itu dia mencoba untuk melarikan diri dan tidak ingin melihat wajahku secara langsung, dia seolah berusaha untuk lepas dari pandanganku.

Ketel mulai mengeluarkan suara yang menandakan air mendidih.

Sesuatu yang membuat seseorang berpikir bahwa orang lain itu imut bukan hanya sebatas penampilan saja. Kepribadian dan bentuk tubuh, suara dan sikap, latar belakang dan pendidikan. Berbagai jenis faktor itu akan tumpang tindih dan membuat seseorang merasa bahwa orang lain terlihat imut.

“Ahhh… aku, aku juga berpikir kamu sangat keren, Kiyotaka.”

Kei mengatakan itu meski aku tidak menanyakannya, lalu dia kembali ke dapur.

Setelah air di ketel mendidih, aku bisa mendengar suara air dituangkan ke dalam cangkir, ketika aku berulang kali mengganti siaran TV.

Tidak butuh waktu lama bagi Kei untuk menyelesaikannya, dia kembali dan menempatkan cangkir kopi di atas meja dengan bangga. Meskipun Kei mengatakan ingin minum teh hitam, entah bagaimana minumannya berubah menjadi cafe au lait.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Kami meletakkan buku pelajaran kelas satu di atas meja.

Lalu kami menyiapkan notebook dan pulpen, agar kami terlihat seperti sedang belajar.

Dengan begitu, bahkan jika terjadi sesuatu yang tak terduga, kami bisa mengelak dengan alasan kami sedang belajar.

Jika memungkinkan, aku tidak ingin situasi seperti itu terjadi.

Dari saat Kei memasuki ruangan, hingga sekarang, semuanya merupakan strategi pertahanan untuk mencegah kejadian dengan Amasawa terulang kembali.

Setelah itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal yang tidak penting.

Mulai dari yang kualami di sekolah hari ini, dan beberapa hari yang lalu.

Siapa yang kami temui saat Golden Week, dan acara TV apa saja yang kami tonton.

Kami menghabiskan waktu dengan melihat-lihat foto yang di ambil oleh Kei.

Kami membahas segala macam topik, dari yang pendek sampai yang panjang, terkadang kami mengganti topik pembicaraan secara tiba-tiba.

Kami berdua menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting. Tapi, aku merasa ini tidaklah buruk.

Tanpa kusadari, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti arti dari kasih sayang.

Berkencan dengan Kei di dalam kamar, kadang dia tertawa, kadang dia marah, Kei menunjukkan berbagai ekspresi kepadaku.

Saat kami membahas beberapa topik, percakapan di antara kami mulai berkurang sedikit demi sedikit. Obrolan santai pun mulai menghilang dan kami beralih ke dalam keheningan yang panjang. Suasana di kamar terasa berbeda dari yang sebelumnya.

Terhadap satu sama lain, kami mulai merasakan sesuatu.

Kami mulai menyadari sesuatu.

Tidak, ini bukan sesuatu lagi.

Aku sudah tahu apa itu.

Keinginan untuk menyentuh satu sama lain, dan mengharapkan respons dari masing-masing pihak, perasaan itu secara bertahap semakin berkembang.

Tapi, ini adalah sesuatu yang tidak perlu diucapkan.

Hanya dengan melihat mata satu sama lain, kami bisa memahami keinginan masing-masing.

Tapi, tidak mudah untuk mengambil langkah itu.

Tidak peduli seberapa baik aku mengenalnya, aku masih harus mempertimbangkan resiko yang berbandingkan 1 : 10.000.

Meskipun kami berdua menginginkan hal yang sama, aku perlu mempertimbangkan kemungkinan pihak lain menolak.

Dan jika penolakan itu terjadi, perasaan negatif akan memancar keluar seperti geyser.

Meski begitu―

Aku tetap menatap Kei yang mencoba mengalihkan pandangannya dariku.

Apakah ini tidak apa-apa? Tapi … perasaan yang berlawanan itu saling bertabrakan satu sama lain.

Kemudian, seakan sudah menyerah, Kei mengarahkan pandangannya kepadaku.

Waktu terasa membeku, aku semakin ingin merasakannya dengan tubuhku.

Jarak antara tubuh kami berdua, dan juga wajah kami, perlahan-lahan semakin berkurang.

Kami akhirnya mencapai jarak dimana kami bisa bernafas di dekat kulit satu sama lain, dan sedikit lagi kami akan bersentuhan.

Dari mulut Kei tercium aroma kopi bercampur susu yang diminumnya tadi.

Dalam 2 detik … 1 detik … bibir kami akan saling bersentuhan…

―Ding Dong

Moment kami dihancurkan dengan kejam oleh bunyi bel pintu.

Hanya ada sedikit jarak yang memisahkan bibir kami yang tidak jadi bersentuhan.

Kesadaranku yang tadinya melayang, kembali menuju kenyataan secara tiba-tiba.

“Ah, eh, pintunya…?”

Kei mundur dengan panik, pipinya menjadi kemerahan, tapi aku tidak punya waktu untuk memperhatikan wajahnya dari dekat. Begitulah, karena bunyi bel itu bukan berasal dari aula, melainkan dari pintu masuk kamarku.

Interkom menunjukkan dengan jelas bahwa ini memang notifikasi panggilan dari pintu kamarku. Berbeda dengan di aula, di koridor ini tidak ada satupun kamera pengawas yang terpasang, mustahil bagiku untuk mengetahui siapa yang datang. Aku bisa saja berpura-pura sedang tidak di rumah, tapi situasinya akan jadi buruk jika pengunjung tersebut telah melihat Kei masuk ke dalam kamarku.

Lebih baik aku memeriksanya dan mencari tahu tujuannya.

“Tunggu sebentar.”

“Uh, mm.”

Kei mengangguk sedikit dan terlihat gugup. Karena kejadian dengan Amasawa sebelumnya, aku sudah meletakkan sepatu Kei di dalam rak sepatu untuk antisipasi. Jika ada yang datang, mereka akan mengira aku sendiri di dalam kamar.

Tapi rencana ini tidak bisa dibilang sempurna.

Solusi yang tepat adalah.. aku harus berdiri dan berbicara di koridor dengan orang yang berkunjung ke kamarku ini.

Tapi jika dia ingin masuk ke kamarku, itu pasti akan menimbulkan kecurigaan. Membawa seorang gadis ke dalam kamar, bahkan sampai menyembunyikan sepatunya. Hal semacam itu pasti akan tersebar.

Sepertinya, memasang kunci U di pintu adalah pilihan yang tepat.

Pengunjung itu tidak akan dapat melihat sepatu Kei dari celah pintu, dan hubunganku dengan Kei juga tidak akan terungkap.

Aku sudah menyiapkan alasanku mengunci pintu ketika nanti akan berbicara dengan pengunjung tersebut.

Selain itu, aku juga bisa menunda percakapan, setelah itu aku akan pergi dari kamar.

Tapi aku ingin tahu, siapa orangnya?

Apakah Horikita? Atau siswa laki-laki? Sambil memikirkan hal ini, aku mengkonfirmasi pengunjung itu melalui ‘peephole’.

(Tl note : ‘ artinya lubang untuk mengintip tamu yang datang, biasanya terpasang di pintu kamar hotel atau asrama, tapi ada juga di rumah pribadi..)

Hal pertama yang kulihat adalah rambut berwarna merah.

“Senpai~”

Diikuti dengan suara imut yang dibuat-buat.

Dia seolah tahu bahwa aku mengawasinya dari lubang pintu.

“Ini aku~”

Dari suaranya, dia sepertinya yakin kalau aku ada di dalam kamar.

Gadis dengan pakaian kasual itu tersenyum.

Kedua tangannya bebas, dia sepertinya tidak membawa apapun.

Aku perlahan melepaskan kunci dan membuka pintu.

Semenjak akhir April lalu, aku belum melakukan kontak dengan Amasawa Ichika Kelas 1-A.

Kemunculannya ini membuatku sedikit terkejut.

Demi membantu rencana Housen, dia mengambil pisau yang digunakan Housen pada kejadian sebelumnya dari dapurku, dia harusnya sadar bahwa aku sudah mengetahui kerja sama nya dengan Housen, lebih masuk akal jika Amasawa menjaga jarak dariku.

Namun, Amasawa yang muncul di depanku sekarang ini, tidak terlihat seperti orang yang merasa bersalah.

Apa dia pikir aku tidak tahu keterlibatannya dengan Housen?

Tidak, ketika Housen menjalankan rencananya, aku sudah tahu kalau Amasawa terlibat dalam hal itu.

“Bagaimana kau bisa masuk ke asrama kelas dua?”

“Aku mengikuti seorang senpai kelas dua yang kembali ke asrama. Aku ingin memberimu kejutan, Ayanokouji-senpai.”

Jika dia menggunakan telepon di lobi, aku akan mengetahui kedatangannya.

Dia menggunakan siswa lain untuk menghindari situasi itu.

“Jadi, apa yang kau inginkan?”

“Apa tanganmu sudah sembuh? Aku datang menemuimu karena aku khawatir padamu.”

Amasawa tidak mencoba menutupi fakta bahwa dia terlibat dalam masalah itu.

Sebaliknya, dia sengaja menunjukkannya.

Dia kemudian menyentuh kunci U dengan jari telunjuk tangan kanannya.

“Bisakah kamu membuka kunci ini … Senpai?”

Sambil mempertahankan senyumannya, Amasawa mengarahkan matanya ke arah rak sepatu, tempat aku menyembunyikan sepatu Kei.

Apakah dia menyadari ada orang lain di dalam kamarku karena aku memasang kunci U? Atau jangan-jangan …

“Ini sudah larut malam, bisakah kita bicara besok? Aku akan mendapat masalah kalau aku ketahuan membawa kouhai perempuan ke dalam kamar malam-malam.”

Kalau kedatangannya memang untuk melihat keadaan tanganku, dia akan pergi setelah mendengar kata-kata ku barusan.

Tapi sepertinya, Amasawa tidak berniat untuk pergi.

Dia meletakkan tangan kirinya di bibirnya, tindakannya itu seolah mencerminkan bahwa dia sedang berpikir.

“Senpai, kamu kelihatannya sedang nganggur, buatkan aku makanan dong.”

Amasawa tiba-tiba mengganti topik pembicaraan, dia sepertinya akan menggunakan berbagai cara untuk bisa masuk ke kamarku.

“Itu benar, kan? Selain itu, kamu tidak lupa kalau aku sudah bekerja sama dengan Sudou-senpai, kan?”

Jika dia memaksa ingin masuk ke dalam, dia pasti akan menggunakan kata-kata itu, seperti yang kuperkirakan.

Aku terpaksa mengikuti keinginannya.

“Maaf, aku kehabisan bahan makanan. Tidak ada satu pun yang tersisa di kulkas.”

“Eh―Benarkah―? Senpai seharusnya menyiapkan bahan cadangan.”

Amasawa mengeluh padaku, tapi wajahnya terlihat puas.

“Kalau memang harus sekarang, aku akan bersiap-siap dulu. Setelah itu kita akan pergi membelinya bersama. Bagaimana?”

Meskipun kencanku dengan Kei akan berakhir, setidaknya aku dapat menghindari masalah yang tidak perlu.

Amasawa sudah pernah bertemu dengan Kei satu kali, tapi aku tidak ingin Amasawa tahu kalau Kei sering datang ke kamarku.

“Jadi begitu, senpai kehabisan bahan makanan ya ~ sayang sekali ~”

Entah kenapa wajah Amasawa terlihat senang.

“Tolong jangan di tutup pintunya, ya?”

Setelah mengatakan itu, Amasawa menghilang dari pandanganku selama beberapa detik.

Setelah itu, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengangkat kantong plastik yang dia letakkan di lantai koridor, aku bisa melihat apa yang dia pegang melalui celah pintu. Sebelumnya aku sudah memastikan dari lubang pintu kalau dia tidak membawa apapun, tapi sepertinya memang sulit untuk melihat sesuatu yang dia letakkan di dekat kakinya dari lubang intip.

Sepertinya dia sengaja meletakkan bahan makanan itu di luar bidang penglihatanku.

Rencanaku telah gagal.

Alasanku menolak Amasawa masuk karena tidak ada bahan makanan, sudah tidak bisa kugunakan lagi.

Aku tahu Amasawa memiliki pemikiran yang tajam, tapi ini melebihi perkiraanku.

Kalau sudah begini, apa aku harus mengakui kalau aku berbohong? Dan mencari solusi lain?

Semenjak kejadian dengan Amasawa sebelumnya, aku sudah membuat banyak rencana, tapi pada akhirnya, Amasawa berhasil menghancurkannya.

Namun, aku tidak tahu apakah Amasawa akan menerima alasanku atau tidak.

Aku percaya diri jika menghadapi siswa lain, tapi aku sedikit ragu kalau menghadapi Amasawa yang sudah mengetahui hubunganku dengan Kei.

“Apa senpai berbohong padaku karena tidak ingin aku masuk ke dalam kamarmu?”

Tidak butuh waktu lama bagi Amasawa untuk menyudutkanku.

Tampaknya kedatangan Amasawa ini bukan sebuah kebetulan.

“Senpai tidak sendirian, kan?”

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

Seperti yang kuduga, dia bertindak begini setelah memastikan Kei masuk ke kamarku.

Dia pasti mengawasi Kei dari suatu tempat.

“Karena ~ aku melihatnya. Aku sudah mengawasi Karuizawa-senpai sejak dia pulang sekolah.”

Seolah ingin membuktikan dugaanku, Amasawa langsung mengatakan kebenarannya. Setelah diam-diam mengkonfirmasi Kei masuk ke dalam kamarku, dia pergi membeli bahan makanan. Lalu dia melewati kunci otomatis dengan mengikuti seorang siswa kelas dua lainnya tanpa mempedulikan resiko terkunci dari luar, dia menjalankan rencana itu dengan berani.

“Melihatmu menyembunyikan sepatu pacarmu, apa kalian berdua melakukan sesuatu yang mesum?”

“Itu hanya tindakan pencegahan karena kami belum memberitahu hubungan kami kepada orang lain.”

“Ah, jadi akhirnya senpai mengakuinya, ya? Aku tidak tahu alasan kalian menyembunyikannya, tapi aku sudah mengetahui hubungan kalian, jadi tidak perlu berbohong padaku, oke?”

Amasawa menunjukkan wajah kurang puas, dia tidak senang kalau aku berbohong padanya.

“Aku menjaga rahasia kalian karena kebaikan hatiku… Tapi aku penasaran, apa yang akan terjadi jika aku membeberkannya?”

Bahkan fakta kami tidak berpacaran di depan umum telah diselidiki oleh Amasawa.

Kalau tidak, dia tidak akan menggunakannya sebagai bahan negosiasi denganku.

Dengan kata lain, percakapan kami sekarang ini hanyalah formalitas.

Jika aku menolak permintaannya sekarang, ada kemungkinan Amasawa akan memberitahu orang-orang tentang hubunganku dengan Kei.

Jika Amasawa mengungkapkannya, itu akan menimbulkan masalah ke depannya untuk Kei.

Pada akhirnya, aku terpaksa membiarkan Amasawa masuk ke kamarku.

Aku akan menyerahkan nasibku pada takdir. Aku mengakui kekalahanku dalam kondisi pertahanan yang tidak menguntungkan.

“Tunggu sebentar, aku akan membuka kuncinya.”

“Oke ~”

Amasawa menjawab dengan wajah senang. Kemudian aku menutup pintu dan memberi sinyal pada Kei bahwa tidak ada masalah. Amasawa telah melangkah sejauh ini. Kami harus menghadapinya secara langsung. Aku melepaskan kunci U dan membiarkan Amasawa masuk ke dalam kamarku.

Setelah pandangannya bertemu dengan Kei, Amasawa tersenyum lebar.

Di sisi lain, Kei berdiri dan memasang wajah masam, seolah baru menelan sesuatu yang pahit.

“Itu tidak baik lho~ pasangan muda berduaan malam-malam di kamar dengan pintu terkunci ~”

Amasawa mengatakan itu dengan penuh semangat sambil melepaskan sepatunya.

“Memangnya kenapa? Pasangan lain juga banyak yang melakukannya.”

“Ya ~ itu memang benar. Tapi ketika melihat kalian berdua, aku merasa kalian telah melakukan sesuatu yang mesum.”

Aku ingin menyangkal tuduhan Amasawa, tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku teringat kembali dengan kejadian tadi, dimana aku dan Kei hampir berciuman.

Begitu Amasawa tiba di ruang tamu, dia langsung melihat ke tempat tidur.

“Pakaian kalian tidak berantakan, tempat tidur juga masih rapi, sepertinya kalian memang tidak melakukan hal yang aneh-aneh.”

“Tentu saja! Ngomong-ngomong, kenapa kamu datang ke sini!?”

Melihat kehadiran Amasawa, Kei yang sebelumnya bersikap feminim, sekarang menjadi sangat marah.

Rasa marah bercampur dengan rasa cemas.

Kei mungkin sadar kalau dia membuat Amasawa tidak senang, Amasawa akan memberitahu ke publik tentang hubungan kami.

“Kupikir kalian melakukan hubungan yang terlarang, maksudku … berhubungan seks.”

Meskipun ini adalah topik yang tidak senonoh, Amasawa dengan berani membicarakannya.

Dia tidak menujukan kata-kata itu padaku, melainkan kepada Kei.

Kei tidak memberi balasan, malahan wajahnya menjadi kemerahan, bahkan lebih merah dari sebelumnya.

Dengan wajah kemerahan, Kei bicara.. “A-Apa yang dikatakan anak ini!?”

Sepertinya Amasawa mencoba untuk mengorek informasi mengenai hubunganku dengan Kei, dan setiap kali dia mengatakan sesuatu, dia akan mengarahkan pandangannya kepada Kei untuk melihat reaksi Kei.

Setelah menyadari bahwa dia tidak bisa mendapatkan informasi yang berguna dariku, Amasawa beralih kepada Kei.

Aku memotong pembicaraan, karena aku tidak ingin Kei terbebani lebih dari ini.

“Seks dilarang dalam peraturan sekolah.”

Aku menjawab Amasawa dengan tenang, sekaligus mencoba untuk menenangkan Kei yang panik.

Bahkan setelah mendengar perkataanku, Amasawa tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur.

“Bukankah peraturan itu hanya sekedar formalitas? Ada banyak pasangan kekasih yang bermesraan di depan umum. Bahkan toserba juga menyediakan alat kontrepsi. Ketika aku membelinya, karyawan toko pura-pura tidak menyadarinya. Yah, jika seks memang dilarang dan ada pasangan muda yang melakukannya diam-diam… itu akan jadi masalah kalau perempuannya hamil, kan?”

Setelah mengatakan itu, Amasawa mengeluarkan alat kontrepsi dari kantong belanjaannya dan meletakkan alat itu di atas meja.

Dia sepertinya ingin membuktikan kalau dia benar-benar membeli alat tersebut.

Memang benar, tanpa menggunakan alat ini, hubungan intim sepasang kekasih akan menghasilkan kehamilan.

Apa yang dilarang sekolah sebenarnya bukanlah hubungan seks tersebut, melainkan jika kami ingin melakukannya, kami harus menggunakan alat kontrepsi dan jangan sampai ketahuan.

Kei kehilangan kata-kata, matanya melihat aku, Amasawa, dan alat kontrepsi secara bergantian.

“Anggap saja ini hadiah dariku… Tidak, maksudku.. permintaan maaf.”

“Aku tidak ingat kau melakukan sesuatu sampai harus meminta maaf padaku.”

“Jangan pura-pura bodoh. Senpai sudah tahu kalau aku salah satu penyebab luka di tangan kirimu, kan? Senpai juga sudah tahu kalau aku bekerja sama dengan Housen-kun.”

Amasawa mengatakan kebenarannya tanpa malu sedikitpun.

Aku bahkan tidak perlu memaksanya untuk mengakui hal itu, malahan dia sendiri yang mengakuinya.

“Apa itu benar…?”

Kei terkejut setelah mendengar perkataan Amasawa.

Aku harap Kei tidak akan membicarakan hal yang tidak perlu, itu juga demi dirinya sendiri.

Reaksi Kei itu sama saja seperti memberikan informasi pada pihak ketiga.

Dari situ Amasawa bisa tahu seberapa banyak yang diketahui oleh Kei, dan juga kelayakan Kei untuk diajak bicara.

“Ayanokouji-senpai, kupikir kamu sedikit salah paham?”

“Salah paham?”

“Aku bukan musuhmu, Ayanokouji-senpai.”

“Kau mungkin sudah menyadarinya, tapi biarkan aku memperjelasnya. Aku tidak percaya padamu.”

“Begitukah? Apa karena aku membantu Housen-kun?”

Seandainya Amasawa tidak melakukan kontak denganku, kejadiannya akan sangat berbeda.

Luka Housen tidak akan menjadi tanggung jawabku, dan rencananya mungkin akan berakhir menjadi penghancuran diri sendiri.

Tidak, jika itu Housen, dia pasti akan memikirkan cara lain untuk mengeluarkanku. Tapi karena intervensi (campur tangan) Amasawa, keberhasilan rencana Housen semakin meningkat.

“Biar aku tebak apa yang senpai pikirkan sekarang. Keterlibatanku meningkatkan persentase keberhasilan rencana Housen-kun untuk mengeluarkanmu dari sekolah. Itulah kenapa senpai berpikir bahwa kata-kataku barusan itu sangatlah konyol. Apakah itu benar? Sepertinya senpai meremehkanku.”

“Aku tidak meremehkanmu. Aku hanya sedang menilai dirimu saat ini.”

“Benarkah? Sepertinya tidak begitu.”

Kei yang sebelumnya terdiam, akhirnya mulai bicara setelah mendengar kata-kata Amasawa.

“Tu-Tunggu dulu. Kamu bilang kamu berencana untuk mengeluarkan Kiyotaka… Apa maksdunya itu?”

Meskipun aku sudah memberitahu Kei tentang luka di tangan kiriku, aku tidak menceritakan secara detail penyebabnya.

“Hee ~”

Melihat reaksi Kei yang sangat panik, Amasawa menunjukkan senyuman aneh.

“Ayanokouji-senpai. Apa kamu belum memberitahu kejadian itu pada pacarmu? Lalu bagaimana dengan hadiah 20 juta poin itu, apa kamu juga belum menceritakannya?”

“A-Apa!? Du-Dua puluh juta poin?”

Amasawa sengaja membahas topik ini, tidak salah lagi, dia menggunakannya sebagai kesempatan untuk mengetahui lebih jauh hubunganku dengan Kei.

“Lebih baik kamu menanyakannya pada pacarmu, benar kan, senpai?”

Setelah Amasawa berkata begitu, mau tidak mau aku harus menceritakan kejadian itu pada Kei.

“Aku dan Housen-kun mencoba mengeluarkan senpai dari sekolah dengan menggunakan pisau yang kami beli di toko―Dan senpai sudah menyadari kejanggalan saat kita pergi belanja bersama, kan?”

Setelah mendengar perkataan Amasawa itu, aku mulai mengubah pendapatku tentangnya.

“Harusnya waktu itu adalah pertama kalinya aku mengunjungi toko yang menjual peralatan dapur di sekolah, tapi aku tidak ragu sedikitpun ketika memilih pisau. Kemudian, senpai memeriksanya pada karyawan toko dan mendapat informasi bahwa ada seseorang yang ingin membeli piasu yang sama dengan kita. Karena itulah senpai bisa memutuskan tindakan pencegahan terhadap rencana Housen-kun, dimana dia akan melukai dirinya sendiri… benar, kan?”

Memang benar, alasanku mengetahui tindakan yang akan dilakukan Housen karena petunjuk yang ditinggalkan oleh Amasawa.

Amasawa sengaja meninggalkan petunjuk yang berguna untukku.

Karena aku sudah tahu apa yang harus kulakukan, aku bisa bertahan menghadapi rencana Housen.

Seandainya Amasawa menjalankan perannya dengan sempurna, situasinya akan berbeda.

“Kau sangat baik.”

“Senpai adalah target yang dihadiahi 20 juta poin, kurasa sangat disayangkan jika senpai dikeluarkan tanpa mengetahui penyebabnya.”

Apa siswa SMA bisa berpikir sejauh ini? Aku ragu akan hal itu.

Amasawa Ichika.

Dari cara berpikirnya, wajar jika aku mengira kalau dia adalah siswa yang dikirim dari White Room.

Tapi kalau itu memang benar, ini sama saja seperti mengungkapkan identitasnya.

Apa untungnya bagi Amasawa mengungkapkannya sekarang?

Atau mungkin dia sama dengan Sakayanagi, mengasah kemampuannya sendiri di luar White Room.

Bagaimanapun, aku harus meningkatkan kewaspadaanku terhadap Amasawa.

“Ahh.. tenggorokanku kering ~ Aku mau minum kopi atau semacamnya.”

Tiba-tiba Amasawa berkata begitu, dia seperti seekor kucing yang meminta makanan.

Melihat sikap dan cara bicara Amasawa, Kei menunjukkan wajah tidak senang.

“Kei, tolong buatkan secangkir kopi untuk Amasawa.”

“Eh? Aku!?”

“Kalau kau tidak mau, aku yang akan membuatnya, dan kau temani Amasawa di sini.”

“… Aku saja yang membuatnya.”

Membuatkan kopi atau menemani Amasawa, Kei tampaknya sudah mempertimbangkannya dan memilih keputusan terbaik menurutnya.

Kemudian Kei berdiri dan berjalan menuju dapur, sementara Amasawa yang ada di belakangnya, menambahkan pesanannya.

“Jangan lupa gula dan juga susunya~”

“Argh! Baiklah, baiklah!”

Kei jadi semakin kesal.

“Jangan sampai memasukkan sampah atau air kotor ke dalam kopiku hanya karena senpai tidak menyukaiku, ya~”

“Aku tidak akan melakukan hal semacam itu!”

Amasawa tidak ragu sedikit pun mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hati orang lain, malahan dia tertawa bahagia melihat reaksi Kei.

Tidak diragukan lagi, dia adalah iblis kecil… Tidak, bahkan lebih dari itu.

Setelah Kei menghilang dari pandanganku, aku dan Amasawa tinggal berdua di ruang tamu.

Amasawa melihat buku yang terletak di atas meja.

“Buku-buku ini terlihat agak aneh.”

“Tentu saja kau akan berkata begitu karena kau sudah tahu hubungan kami”

Tidak ada gunanya lagi bepura-pura, karena dia telah mencurigai kami dari awal.

“Mari kita lihat, hmmm? Apa undang-undang yang dibuat pada konferensi umum organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB di tahun 1972?”

Setelah membaca pertanyaan itu, Amasawa memegang pensil mekanik dengan tangan kirinya, lalu dia menulis jawaban “Undang-undang tentang warisan dunia” dalam buku catatan yang kosong dengan tulisan yang rapi.

“Benar, benar~”

Amasawa memuji dirinya sendiri setelah mengisi jawaban dari pertanyaan tersebut.

“Hei! Jangan menulis di buku catatanku tanpa izin!”

Kei yang menyadari tindakan Amasawa, menampakkan wajahnya dari dapur dan memperingatkan Amasawa.

“Tidak masalah, kan? Cuma sedikit doang.”

“Tidak boleh!”

Setelah menunjukkan amarahnya, Kei kembali ke dapur.

“Pacarmu … kelihatannya sangat pemarah, Senpai.”

Amasawa membisikkan hal itu ke telingaku. Ini akan jadi masalah besar jika Kei melihat kami sekarang.

Untung saja Kei tidak melihatnya. Kei kembali kesini membawa secangkir kopi sambil menunjukkan wajah tidak senang kepada Amasawa.

“Ini kopimu!”

“Terima kasih, Karuizawa-senpai~”

Amasawa tersenyum.

Namun, setelah itu dia segera berdiri dan tidak meminum kopinya.

“Yah, aku sudah memberikan sesuatu sebagai permintaan maaf untuk senpai, jadi sudah waktunya aku pulang. Silahkan gunakan bahan-bahan makanan itu untuk memasak makanan yang kamu suka, Senpai~”

Setelah selesai mengatakan apa yang ingin dia katakan, Amasawa berbalik dan bersiap-siap untuk pergi.

“Hah? Apa maksudnya ini? Kamu memintaku untuk membuatkan mu kopi? Tapi kamu tidak meminumnya?”

“Aku tidak keberatan bersantai di sini. Tapi bagaimana denganmu? Apa tidak masalah?”

“Itu … baiklah kalau begitu … pulanglah.”

“Benar kan~ Kalau begitu aku permisi~”

Sepertinya Amasawa sengaja meminta Kei membuatkannya kopi karena dia ingin mempermainkan Kei.

Apakah ini yang dimaksud ketika seseorang tidak mengetahui arti dari teror yang sebenarnya?

Amasawa berdiri dalam satu gerakan, dan pergi bagaikan angin.

Setelah Amasawa pergi, kamarku kembali tenang seperti sebelumnya.

Namun, berbeda dengan suasana yang romantis tadi, suasana saat ini terasa sedikit suram.

“Kiyotaka! Apa-apaan anak itu!?”

“Aku juga ingin tahu.”

“… Dia sangat menyebalkan!”

Meski merasa kesal, Kei sadar tidak ada gunanya kami membicarakan tentang Amasawa.

Dia mengubah topik pembicaraan.

“Beritahu aku. Apa hadiah 20 juta poin itu ada kaitannya dengan luka di tangan kirimu?”

Aku tidak menceritakannya pada Kei bukan karena ingin merahasiakan itu darinya.

Aku hanya tidak ingin membuat Kei khawatir.

Tapi karena sekarang situasinya sudah seperti ini, aku tidak punya pilihan selain menceritakannya kepada Kei.

Aku memutuskan untuk memberitahu Kei tentang kejadian tersebut.