DLC [Profesor Dunia Pahlawan] : Hotfix Ver2.3.1a(2)
“Apa yang terjadi dengan diriku di dunia nyata?”
“……”
Itulah pertanyaanku.
Dan Dino menggeleng dengan gugup.
Apa dia tak bisa mengatakannya?
“Kalau aku mati di dalam game, apakah aku juga mati di dunia nyata?”
“……” angguk
Satu hal jadi jelas.
Aku tidak boleh mati.
“Kenapa aku dipanggil ke dalam dunia game ini?”
“……” geleng-geleng
“Jawabanmu selalu begitu saja?”
“……” geleng-geleng
“Kalau begitu kenapa cuma geleng-geleng? Mau mati?”
“……” geleng-geleng
“Bicara.”
“U-uh, iya.”
Aku mengulang pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Tentang diriku di dunia nyata, kematian dalam game, alasan aku dibawa ke sini, dan lain-lain.
“…A-aku, aku nggak tahu.”
“Kau tahu, kan?”
“…nggak tauuu!”
Tapi Dino hanya terlihat kebingungan.
“Cuma bilang nggak tahu, selesai?”
“Eh?”
“Kalau nggak tahu, ya cari tahu.”
“B-baik…!”
“Dan kalau tahu, ya tinggal bilang.”
“Jangan galak gitu…! Aku bilang nggak bisa ngomong….”
“Kau ini kan asisten. Menolong itu tugasmu. Tapi kalau kau diam saja padahal aku minta tolong, apa bedanya dengan nggak tahu? Dasar nggak berguna. Serangga.”
“Berhentiii…! B-biarpun kau galakin aku, aku tetap nggak akan bilang…!”
Sudah kuhardik pun, tetap nggak berhasil.
Tampaknya ini semacam larangan sistem, 禁制 (geumje).
“Jadi, aku satu-satunya pemain di dunia ini?”
“Iya! Ka-kalau di dunia ini, ini kan game single player…. Jadi di duniamu, cuma kamu pemainnya.”
Hanya aku yang menjadi pemain di duniaku.
Perkataan itu terasa sangat berarti. Ataukah aku hanya menafsirkannya terlalu jauh?
“Kalau begitu….”
Setelah berpikir sejenak, aku lanjutkan logikaku.
“Dari yang kudengar, seolah-olah orang lain juga punya dunia masing-masing.”
“B-benar. Dan tiap dunia itu sedikit berbeda satu sama lain.”
Jadi, semacam game sandbox?
Menarik juga. Dan cukup ajaib.
“Oh, iya!”
Lalu Dino menepuk tangan dengan tangan depan dinosaurusnya yang mungil.
“Ngomong-ngomong, ada orang yang sedang menunggumu…!”
“Menungguku?”
“Iya! Banyak banget! S-sebanyak i-i-i-iniiiiiii~.”
Dia mengangkat tangan kecilnya lebar-lebar, berusaha menunjukkan seberapa banyak.
Kalau dilihat dari panjang tangannya sih, paling cuma satu dua orang.
Tapi tampaknya lebih dari itu.
“Siapa mereka?”
“Para pemain lain…! Dan, kamu itu, sangat terkenal di antara mereka…!”
“Kenapa aku terkenal?”
“Itu karena kamu main di [mode neraka]…!”
Aku sempat bertanya-tanya kenapa itu bisa bikin terkenal.
Tapi kalimat Dino berikutnya seakan menampar tengkukku.
“…Satu-satunya yang masih hidup!”
Ah, begitu rupanya.
Akhirnya aku paham sesuatu. Ternyata ini memang mirip dengan game single player di dunia nyata.
Tapi, meski game dimainkan sendiri, kita masih bisa berkomunikasi dengan pemain lain lewat komunitas, kan?
Orang-orang yang katanya sedang menungguku, mungkin maksudnya adalah para pemain di komunitas itu.
“Kalau begitu, semua pemain lain di [mode neraka] sudah mati?”
“Iya.”
Kalau dipikir-pikir, memang wajar.
Sejak hari pertama aku jadi dosen saja, sudah ada beberapa kali percobaan pembunuhan.
Jumlah situasi berbahaya yang bisa membunuhku, terlalu banyak untuk dihitung.
Tapi aku berhasil bertahan.
Apakah karena aku pemain veteran? Karena aku hebat dan luar biasa?
Setengah benar.
Setengahnya lagi… karena aku beruntung.
Bug, tips, akting putus asa, pemahaman akan game—semuanya penting. Tapi kalau saja aku kurang beruntung, pasti sudah mati. Aku tahu itu betul-betul.
“…Tapi kalau tiap orang punya dunia masing-masing, apa gunanya aku berada di [mode neraka]?”
“E-eh, itu karena… nanti ada DLCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCCC……………………………………………………………………”
Astaga. Ucapannya seperti nge-lag, lalu muncul jendela biru di mulut Dino.
「⧉」
Bersamaan dengan itu, fokus di matanya menghilang.
Ternyata benar, semacam larangan sistem.
Tampaknya [Stigma] milik Sistem telah menutup mulutnya.
Apa yang sebenarnya ingin Dino katakan?
DLC untuk mode multipemain…?
Yah, namanya juga DLC, bisa ditambahkan kapan saja.
Mungkin nanti akan ada semacam server multipemain.
Tempat berkumpulnya para pemain single player.
‘Kurang lebih aku mulai paham.’
Kalau begitu, aku bisa menebak alasan kenapa aku begitu terkenal di antara mereka.
[Mode Sulit] punya sistem hadiah dan skala permainan yang jauh lebih besar dibanding [Mode Normal].
Untuk mengalahkan musuh yang jauh lebih kuat, pemain juga harus jadi jauh lebih kuat.
Bukan cuma angka status yang naik.
Skala permainannya juga beda.
Misalnya, dungeon yang tadinya hanya 3 lantai, bisa meluas sampai 5 lantai.
Begitu juga dengan [Mode Neraka].
Padahal cerita utama baru berjalan satu kali, tapi sudah muncul senjata peringkat [Legenda II], dan aku berhasil mendapatkannya.
Tentu, itu juga berkat [Ruang Kesalahan], dan beberapa situasi yang kebetulan menguntungkan.
Tapi meski begitu, itu tetap pertumbuhan yang tidak masuk akal.
Dan akan terus begitu.
Aku akan menjadi jauh lebih kuat dibanding para pemain dari mode lain. Jika aku bisa tetap hidup, tentu saja.
Mungkin itulah sebabnya banyak orang menaruh harapan padaku.
Saat itu, fokus di mata Dino kembali.
“…Eh? Aku tadi ngomong sampai mana ya…?”
Lalu dia bertanya.
“Pokoknya, mau ikut? Ketemu para pemain lain? Mereka semua menunggumu di [End Ocean]!”
Aku tak masalah bertemu mereka.
Tapi sebelum itu, aku ingin memikirkan situasi ini sedikit lebih dalam.
Pertama, tentang game ini.
Game bernama 「Hiaka Academy: Jurusan Pembunuhan」 ini,
sebenarnya dirilis bersamaan dengan dua game lain: 「Jurusan Ksatria」 dan 「Jurusan Penyihir」.
Urutan rilisnya: Ksatria → Penyihir → Pembunuh.
Aku sudah memainkan ketiganya, tapi Jurusan Pembunuh paling seru, jadi aku mendalaminya.
Negara yang merilis game ini adalah negara asing.
Polandia atau Finlandia…?
Pokoknya semacam “-land”. Eropa.
Karena sistem game-nya sangat kompleks, maka cukup sulit untuk pemula.
Di luar negeri, game ini punya popularitas kultus di kalangan maniak, tapi di Korea tidak terlalu populer.
Jadi ketika aku ingin bergabung ke komunitas, aku harus masuk ke komunitas luar negeri.
“Dino. Berapa banyak orang yang mati di [mode neraka]?”
“B-banyak banget.”
“Kira-kira berapa? Ratusan?”
“Lebih baaaanyak.”
Hup, dia menengadah ke atas.
Kali ini, larangan sistem tidak muncul.
“Lebih dari ratusan, ya….”
Entah apa yang terjadi pada mereka.
Tapi yang pasti, mereka mati.
“Kalau para pemain di mode lain, masih banyak yang selamat?”
“Iya.”
“Tadi kamu bilang [End Ocean], itu tempat apa?”
“Itu lautan yang hanya bisa didatangi oleh mereka yang sudah menyelesaikan ending game.”
Jadi semacam ruang komunitas yang hanya bisa diakses oleh orang yang sudah menamatkan game single player… begitu maksudnya?
“Aku belum menamatkan game ini.”
“Iya! Makanya kamu nggak bisa masuk terlalu dalam. Soalnya muncul di [offline] seperti sekarang itu sangat jarang terjadi kalau belum tamat.”
Begitu rupanya.
Meski masih samar, perlahan-lahan aku mulai paham.
Dan dalam obrolan berikutnya, aku bisa menggambar sebuah struktur dunia dalam kepalaku.
Dunia ini terbagi menjadi beberapa dimensi:
- Dunia dalam game single player: [Overworld]
- Dunia di luar game: [Offline]
- Komunitas para pemain yang sudah tamat: [End Ocean]
[Overworld] adalah dunia tempat aku berada sampai beberapa saat yang lalu.
<Seed: 3340 1414 5592 **** ****> ← Ini adalah alamat dunia milikku.
[Offline] adalah dunia putih tempat aku berpijak sekarang. Ruang di mana seseorang bisa terlontar sementara waktu, entah karena telah melihat ending atau karena hotfix dan semacamnya.
Dan sekarang, Dino mengajakku pergi ke [End Ocean] yang ketiga.
Katanya, orang-orang dari tingkat kesulitan lain yang telah menamatkan permainan sedang menungguku di sana.
< Waktu tersisa hingga patch Ver.2.3.1a selesai…… [21 menit] >
Aku melirik waktu, lalu mengambil keputusan.
“Baiklah. Kalau begitu, mari kita pergi. Ke tempat bernama [End Ocean] itu.”
“Iya! Naiklah!”
Naik?
Dino mendekat dan membungkukkan pinggang.
Memamerkan punggung dari kostum dinosaurus abu-abu miliknya.
Maksudnya naik ke punggung anak ini?
“Kakak harus mengendalikan dengan baik, ya.”
Ternyata memang benar, di belakang kepala dinosaurus Dino, ada tombol memanjang.
[JUMP]
Dinosaurus abu-abu. Dunia putih. Tombol lompat.
Ini… seperti pernah kulihat di suatu tempat……
Bagaimanapun juga.
Begitu aku menaiki kostum Dino, tubuhku mengecil dengan mengejutkan, dan aku melekat erat seolah kami telah menyatu.
“Kita berangkat! Kita harus melewati 10.000 poin!”
“Baik.”
Dino mulai berlari.
Dengan langkah kecil-kecil.
Tapi tidak terlalu terguncang, mengejutkannya.
< Skor saat ini: 1 >
< Skor saat ini: 2 >
⋮
Skor mulai naik di atas kepala kami.
Ternyata 10.000 poin yang dimaksud adalah skor ini.
Tapi kemudian.
Saat aku bergerak sambil menunggangi Dino, dunia mulai berubah dengan cepat, tak seperti saat aku berjalan sendiri.
Kaktus muncul. Pemandangan langit berubah.
Dino tidak sedang berlari di [Offline].
Kami sedang menyusup ke ruang antar dimensi.
< Skor saat ini: 15 >
< Skor saat ini: 17 >
⋮
Alurnya terasa familiar.
< Skor saat ini: 35 >
Saat Dino mulai berlari lebih cepat,
Kaktus-kaktus mulai muncul.
Aku menekan tombol lompat.
Pok!
“Aduh!”
“Apa?”
“Tekannya pelan dong…!”
Kok bisa?
Siapa suruh pasang tombol di kepala, hah?
Tapi karena dia bilang sakit, kuputuskan untuk menekannya lebih pelan.
Pok. Pok.
“Aduh! Aduh! Sakit…!”
Padahal sudah pelan.
Kuputuskan untuk lebih lembut lagi.
“Sakit! Pelan-pelan dong, Kakak!!”
Lupakan.
Pok! Pok!
“AUW!!”
< Skor saat ini: 65 >
< Skor saat ini: 79 >
< Skor saat ini: 139 >
⋮
Saat lompat terus-menerus, seekor makhluk mirip pterosaurus muncul terbang. Ketika tidak menekan tombol, ia terbang melewatiku dari atas.
Ini juga terasa akrab.
< Skor saat ini: 512 >
Lalu, di suatu titik.
Pterosaurus itu mulai terbang pada ketinggian yang agak ganjil.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Gak apa-apa. Kurasa bakal lolos.”
“Kau yakin?”
“Iya.”
“Baiklah. Aku percaya padamu.”
Pterosaurus itu menabrak dahiku.
Astaga xialan, kaget banget.
< GAME OVER >
Saat membuka mata, kaktus dan pterosaurus telah lenyap.
Dino menatapku dengan wajah kecewa.
“Eh, Kakak ngapain sih? Itu zona mudah, cuma 350 poin.”
“Kau bilang bakal lolos dengan aman!”
“Kapan aku bilang begitu?”
“……”
Dia benar-benar memiringkan kepala seperti tak tahu apa-apa.
Dasar bocah ini. Baru sedikit akrab, sudah mulai tengil.
Tapi entah kenapa rasanya seperti sedang berdebat dengan anak kecil… jadi aku memilih diam saja.
“Kita coba lagi ya. Kali ini, lakukan dengan benar.”
Tapi karena sudah mencoba sekali, aku jadi paham.
Kurang lebih aku tahu level game ini.
< Skor saat ini: 611 >
< Skor saat ini: 1.552 >
< Skor saat ini: 2.914 >
⋮
Terlalu mudah, sampai aku merasa ingin mati.
Dino makin cepat berlari.
Malam datang di jalur yang kami lalui.
Kaktus dan pterosaurus mengatur siasat secara licik, tapi…
Pok!! Pok!!
“Aduh! Aduh!”
Dengan menekan tombol sekuat tenaga, aku bisa melompati semuanya dalam sekejap.
Sepertinya Dino sempat bilang “pelan-pelan” atau semacamnya, tapi angin terlalu kencang, aku tak bisa mendengarnya.
Pokpokpokpokpok!!
“Waaah!!”
< Skor saat ini: 6.335 >
< Skor saat ini: 8.595 >
< Skor saat ini: 10.000 >
Akhirnya, kami tiba.
Dino yang sedang memegangi belakang kepalanya, tersenyum lebar.
“Tapi Kakak hebat juga. Ini pertama kalinya ada yang sampai dalam dua kali percobaan!”
Kalimat “Bukannya aku orang pertama yang kau temui?” tidak kuucapkan.
Aku hanya memalingkan pandanganku ke kejauhan.
Di ujung dunia yang sebelumnya putih,
terhampar laut yang luas.
Dari sini, apakah itu yang disebut [End Ocean]?
Tempat di mana banyak orang sedang menungguku……?
* * *
Cing…
Cing…
Cing….
Sesuatu jatuh ke lantai.
…Tuk.
Sorotan kosong di mata biru itu akhirnya kembali fokus. Eve meraih dan mengambil benda yang terjatuh.
Genta kecil yang sebelumnya tergantung, entah kenapa kini tak lagi menempel pada tubuhnya.
Apa pun yang ia lakukan,
benda itu tidak mau menempel kembali.
Setelah itu, lonceng itu tak lagi berbunyi. Meski digoyang sekuat tenaga, hanya suara tumpul yang terdengar saat permukaan luarnya diketuk.
“…….”
Eve menoleh, memandang ke kejauhan.
Dengan tatapan kosong, dalam waktu yang lama sekali.