Surviving the Assassin Academy as a Genius Professor

Chapter 39 - Gajah

- 8 min read - 1568 words -
Enable Dark Mode!

Episode 13 – Gajah

Ini adalah kisah tentang dua pertemuan dengan Eve.

Malam sebelum Profesor Dante membunuh Toxin.

Ada pertemuan ke-25 dengan Eve.

Belakangan ini, mungkin karena lokasi kumpulan ghoul telah berganti, perjalanan jadi lebih mudah karena mereka tak lagi berkeliaran di sekitar [Ruang Error].

Adele, yang tahu hubungan Dante dengan Eve, bertanya.

“Kamu bagaimana akhir-akhir ini? Sudah makin akrab dengan sang penyihir?”

“Tidak juga. Tidak baik.”

Dante berpikir. Belakangan hubungan mereka berkembang dengan lambat.

Setiap kali bertemu, hanya saling menyapa. Jika ia memberinya lonceng, Eve menyukainya. Lalu berpisah dengan ucapan selamat tinggal—itu saja.

Pernah menerima hadiah berupa apel, tapi hanya sebatas itu.

“Boleh aku ikut sekali saja?”

Saat itu, Adele meminta ikut. Karena setiap hari ia menyetir selama 10 menit untuk mengantarkan Dante, rasa ingin tahunya pun tumbuh.

“Boleh. Tapi targetnya cukup waspada dan agresif, jadi harus hati-hati.”

“Siap.”

Akhirnya, Dante membawa Adele menaiki gunung.

Dan di situlah, Adele melihat Eve untuk pertama kalinya.

Sesuai ucapan Dante, Eve langsung bersikap waspada saat melihat orang asing, namun saat Adele berdiri di garis yang sudah Dante tetapkan, Eve perlahan menurunkan kewaspadaannya.

Namun, hanya Dante yang diizinkan mendekat, mirip dengan bagaimana hewan liar membedakan manusia.

Adele hanya duduk jongkok dari jarak sekitar dua puluh meter, menatap kosong. Lalu ketika Eve sedikit mengangkat tudung dari jubah compangnya, kekaguman terlepas dari dalam hati.

‘Wow… Apa-apaan ini…?’

Di balik jubah compang-camping yang nyaris seperti ghillie suit.

Muncul poni biru langit, mata biru.

Sangat… sangat tidak masuk akal betapa cantiknya…

Gadis itu terlihat seolah berasal dari spesies yang berbeda.

Rasanya seperti… saat Adele pertama kali melihat bayi dari kenalannya yang baru melahirkan. Manusia, namun terasa bukan manusia. Seperti sedang melihat sesuatu yang luhur…

‘Sekarang aku mulai mengerti.’

Bersamaan dengan itu, banyak pertanyaan di hati Adele terjawab.

Ia mulai mengerti, mengapa Profesor Dante yang biasanya seperti batu jika berhadapan dengan perempuan, rutin datang kemari. (Sedikit berlebihan, tapi seperti sedang menyambut penampakan dewa.)

Juga mengapa begitu banyak korban dari para kadet di Gunung Bintang. Jika sekilas pandang saja sudah terasa seajaib ini, pasti banyak yang mencoba mendekat dan akhirnya hancur.

‘……’

Setelah itu, Adele mengamati Dante dan Eve berkomunikasi secara singkat.

Komunikasi itu sendiri tidak istimewa. Eve menggoyangkan sebuah buah pinus. Dante memberinya lonceng. Saat Dante menunjuk bintang di langit dan menjelaskan sesuatu, Eve hanya memiringkan kepala. Mungkin itu ekspresi bingung karena tak mengerti.

Namun dari sudut pandang Adele, Eve memiringkan kepala sambil terus memperhatikan tangan dan mulut Dante dengan seksama. Dengan mata biru seindah itu. Sorot matanya menunjukkan rasa ingin tahu terhadap gerakan tangan Dante.

Maka Adele pun bertanya.

“Bukankah hubungan kalian cukup dekat?”

“Apa?”

“Kau bilang belum akrab. Aku pikir akan terasa sangat canggung. Tapi dari yang kulihat, kalian terlihat cukup dekat.”

“…Begitukah?”

Di titik ini, Adele menyadari sesuatu. Bahwa Dante cukup tumpul dalam urusan hubungan antarmanusia.

Dasar pria tumpul yang hidupnya cuma tahu membunuh.

Maka Adele merasa, ia perlu sedikit mengajari Dante.

“Menurutku ya… gadis itu… siapa namanya?”

“Eve.”

“Oh iya, Eve. Menurutku, dia seperti seekor gajah.”

“…Gajah?”

Adele memberi isyarat ke arah Eve.

“Hewan netral yang sangat besar dan tak bisa diajak komunikasi sama sekali.”

“Kenapa harus gajah?”

“Karena seaneh itu. Aku nggak paham cara berpikirnya. Tapi tahu kan, seperti manusia yang merasa kucing itu lucu, katanya gajah juga menganggap manusia itu lucu. Nah, karena Eve yang memegang kendali hubungan ini, berarti dia yang jadi gajah.”

Lalu Adele menjelaskan teorinya: Gajah–Manusia–Kucing.

Gajah (Eve) – Manusia (Dante)

Manusia (Eve) – Kucing (Dante)

Misalnya, saat Eve melambaikan tangan saat Dante mendekat.

Itu mirip dengan manusia yang mengelus kucing saat kucingnya menyentuh mereka.

Dan saat Eve mengulurkan buah pinus untuk mendapat lonceng.

Itu seperti manusia yang mengulurkan tangan agar kucing bisa memijitnya dengan kakinya.

“…….”

Tatapan Dante langsung kosong.

Gajah?

“Coba lihat Eve sekarang. Dia memiringkan kepala, tapi lebih pelan kan? Itu seperti kucing yang bertanya-tanya, kenapa manusia jauh banget.”

“Lihat yang itu. Dia lihat lonceng, lalu lihat kau. Itu seperti kucing yang membawa sesuatu ke manusia, lalu bingung, ‘Haruskah aku kembalikan ini?’.”

“Dan barusan saat dia mengangkat tudungnya, itu seperti manusia yang memakai kacamata supaya bisa melihat kucing lebih jelas.”

Dante melamun dan membayangkan gambar gajah, manusia, dan kucing di kepala.

“Aku belum pernah berpikir seperti itu. Tapi, apa yang membuatmu menarik kesimpulan begitu?”

“Perasaan aja? Coba bayangin dia seperti kucing jalanan, pasti langsung nyambung… Ini karena profesor terlalu tumpul saja.”

“……”

Bagaimanapun, saat itu sudah waktunya berpisah.

“Menurutku, kalau ingin lebih akrab, harus ada komunikasi.”

“Maksudmu komunikasi?”

“Sekarang kan posisinya kayak kucing liar ketemu manusia di jalan?”

“Kucingnya harus memilih manusianya?”

“Eh, kata ‘memilih’ sih cuma bercanda. Sebenarnya, manusialah yang memilih kucing. Lama-lama bisa diajak main, dikasih makan. Kalau begitu terus, bisa jadi Eve yang memilih profesor.”

Kurang lebih, Dante mulai paham.

“……Hubungan yang benar-benar aneh.”

Dante turun gunung sambil terus memperhatikan si gajah dari jauh.

Eve menatapnya pergi dengan mata biru cerahnya.

Pertemuan pun berakhir.

Dalam perjalanan pulang, Dante menggumamkan kata-kata Adele dalam lamunannya.

“Karena dia yang pegang kendali, jadi dia gajah…”

Lalu Adele juga kehilangan fokus sesaat.

“…Berarti aku hanya bisa menunggu. Toh aku bukan kucing lucu yang bisa bermanja-manja.”

“Eh?”

“Hmm?”

“Apa maksudnya barusan?”

“Maksudku si gajah.”

“…Gajah? Manja kayak kucing? Apa maksudnya…”

“……”

Barulah saat itu Dante menyadari sesuatu.

‘Jadi seperti ini, ya.’

…Kutukan yang disebut “Kutukan Pelupaan.”

* * *

Setelah membunuh Toxin, beberapa hal aneh mulai terjadi dalam hidupku.

Pertama. Gray tidak lagi mengikuti kelas sebagai peserta pendengar.

‘Tiba-tiba menghilang. Kenapa?’

Mungkin dia memang orang yang berubah-ubah.

Baguslah. Keberadaannya selalu membuatku waspada.

Suatu saat aku tetap harus mengalungkan lonceng di leher kucing itu. Tapi tidak sekarang.

Kedua. Tiba-tiba muncul hadiah.

Misi Utama [Hasil Pertama]

┃ Hadiah: Fragmen Bintang × 20

Tiba-tiba saja aku diberi 20 Fragmen Bintang. Aku sampai terheran-heran.

‘Hasil apaan?’

Ya, karena dikasih, tetap saja menyenangkan.

Tapi aku tak mengerti alasannya.

Fragmen Bintang sebanyak 20 itu jumlah yang sangat besar.

< Fragmen Bintang yang dimiliki: 114.5 >

Yang disebut “hasil” seharusnya berasal dari perkembangan murid yang kubimbing.

Tapi aku belum benar-benar membimbing siapa pun. Tidak ada yang tumbuh pesat.

‘…Bug, ya?’

Melihat [Ruang Error] di Gunung Bintang, sepertinya memang ada banyak bug. Tapi ya, selama tidak ditarik kembali, anggap saja rejeki.

Bagaimanapun, sekarang waktunya lagi untuk menemui Eve.

Pertemuan ke-27.

Musim gugur yang sudah sangat terasa. Angin dingin pun berhembus kencang.

Pipi Eve terlihat sedikit memerah karena cuaca yang dingin.

“Beberapa hari lalu, aku mengirim surat ke keluarga bangsawan Lemon Tree, nama keluargamu. Dan tadi pagi aku mendapat balasan.”

“……?”

“Mau lihat?”

Kuharap dia bisa membaca, jadi kutunjukkan suratnya.

Namun sepertinya dia tidak bisa membaca tulisan.

“Isinya, mereka sangat waspada dan bertanya siapa aku. Katanya keluarga bangsawan itu sudah hancur. Kalau aku menginginkan uang, lebih baik pergi saja.”

“……?”

“Aku belum menyebutkan tentangmu. Tapi aku akan coba menjalin komunikasi lebih jauh. Aku ingin tahu siapa dirimu. Dan kenapa kamu berada di sini.”

Lagi-lagi, hanya anggukan kecil dan kepala miring dari Eve.

Karena frustrasi, aku menjitak pipinya pelan.

Pipinya yang dingin memanjang sedikit.

Tapi dia tidak menghindar. Hanya memandangiku dengan kosong.

“……Dan dalam beberapa hari ke depan, mungkin aku tidak bisa datang. Sebentar lagi akan ada krisis besar menimpa seluruh akademi. Mungkin tidak ada hubungannya denganmu. Tapi aku akan sangat sibuk. Kalau sial, aku bisa terluka dan tidak bisa datang dalam waktu lama.”

Tapi entah kenapa…

Kali ini reaksinya berbeda.

Eve tidak lagi memiringkan kepala.

Hanya saja, sudut matanya yang menurun… makin menurun.

“…….”

Mungkin dia tidak mengerti kata-kataku. Tapi dia paham bahwa ucapanku berbeda dari biasanya. Mungkin karena hari ini aku berbicara lebih panjang.

Aku ingin menyampaikan sesuatu pada Eve. Dan dia menyadarinya.

“……Cahayanya terang sekali.”

Aku mendongak ke langit.

Eve juga menoleh ke atas.

Sebenarnya itu bukan bulan. Tapi salah satu dari 33 bintang yang disebut Transendensi✯, bintang terbesar, yang dijuluki Raja Bintang.

Dulu orang mengira itu berbeda dari bintang lain, dan itulah yang diwariskan secara turun-temurun dengan nama “bulan”.

Saat sedang melamun menatapnya, tiba-tiba ada beban ringan di lenganku.

Perasaan asing. Aku pun melirik ke bawah.

Dan terkejut.

“…….”

Beberapa hari lalu, Adele menyebut Eve seperti gajah.

Pertemuan antara gajah dan manusia, katanya, seperti pertemuanku dengan Eve.

Meskipun terdengar konyol, kalimat itu terus berputar di kepalaku.

Eve (gajah) – Aku (manusia)

Eve (manusia) – Aku (kucing)

Memang benar, seperti yang dikatakan Adele, kendali hubungan ini ada pada Eve. Meski aku belum pernah melihat dia bertarung secara langsung, aku yakin dia sangat kuat. Potensi [3.0] adalah jaminannya.

Kalau Eve menolak keberadaanku, aku tak bisa melakukan apa pun. Sama seperti hubungan manusia–kucing atau gajah–manusia.

Lalu sekarang, apa yang dipikirkan Eve?

Apa yang sedang dipikirkan… gajah ini…

…saat dia menyandarkan kepalanya padaku?

Dalam keheningan. Aku perlahan menurunkan tanganku. Dan dengan hati-hati, mencoba meletakkan tangan di atas tudung jubah Eve, agar dia bisa bersandar dengan lebih nyaman. Tapi kemudian, sesuatu menghalangi.

Tangan Eve.

Kupikir dia menolak sentuhanku. Tapi tidak.

Eve memegang tanganku dan membawanya ke pipinya sendiri.

Malam awal musim dingin. Cuacanya dingin, dan pipi Eve juga dingin. Mungkin karena itu, tanganku terasa hangat. Eve menggeser pipinya ke sana ke mari di telapak tanganku, menyerap kehangatannya.

Perasaan yang asing. Kerasnya tulang pipinya. Ujung hidung yang menyentuh ibu jariku. Lalu kelembutan yang tiba-tiba menyentuh telapak tangan—apakah itu bibir?

Semuanya terasa asing.

Tapi juga menakjubkan.

Dari sekadar mengamatinya dari kejauhan. Merusak bidikanku, membunyikan lonceng, menerima apel, belajar lambaian tangan, duduk di gundukan makam dan melihat bintang bersama.

Setelah 27 kali pertemuan.

Akhirnya, kami bisa sedekat ini.

* * *

Eve menatap “manusia itu” dengan tatapan kosong.

Sampai ia menghilang dari pandangan, benar-benar jauh.

“…….”

Episode 13

Gajah

END

Prev All Chapter Next