Chapter 28
Menurut si gagak, 2 milyar itu maksudnya adalah 2 milyar Hika dalam 7 tahun.
Meskipun begitu, sudah jelas kalau nilai tubuhku kembali naik.
Sepertinya setelah mereka menyadari aku bukan bagian dari faksi Baekdo, pihak faksi Hitam mulai menginginkanku.
Hidup memang penuh kejutan. Siapa sangka akan ada keributan begini hanya untuk berebut membawa diriku.
Namun, sekarang bagaimana aku bisa bergabung dengan mereka? Faktanya, aku bukanlah orang yang membunuh Hakon, jadi sekalipun aku pergi ke sana, tidak ada gunanya. Lagi pula, jika aku bergabung dengan faksi Hitam, kemungkinan besar akan timbul masalah serius dari pihak Baekdo kali ini.
“Aku tolak.”
“Kaak?”
“Sampaikan seperti itu. Aku menghargai tawarannya, tapi aku lebih nyaman sendirian.”
Setelah mengelus kepala si gagak, aku pun melepaskannya.
Sepertinya ke depannya aku akan terus menolak tawaran perekrutan.
Karena hanya dengan tetap berada di posisi yang ambigu inilah, aku bisa mempertahankan nyawaku……
DLC [Dosen dalam Dunia Pahlawan]: Rekap Tengah (1)
───
Scene #1 - Para Dosen ◀
Scene #2 - Kaiser
Scene #3 - Eve
Scene #4 - Dante Hiakapo
───
Katanya, menjadi cantik itu menyusahkan. Aku ini tidak cantik, dan bukan juga perempuan, tapi aku rasa mulai paham kenapa.
“Ha-ha. Cuaca bagus hari ini.”
“Musim peralihan, apa yang bagus?”
Di jalan, di sisi kiri ada dosen faksi Baekdo, di kanan ada dosen faksi Hitam.
“Profesor, di sini ada gorengan ikan pipih yang enak, ayo kita pesan.”
“Cuma bisa omong doang, khas faksi Hitam itu. Profesor Dante, saya beli dua ini, ini satu buat Anda…”
Di kantin staf pengajar, di kiri duduk para dosen faksi Baekdo, di kanan faksi Hitam.
“……”
“……”
Bahkan di bilik urinoir toilet staf pengajar, di kiri faksi Baekdo, di kanan faksi Hitam… Eh, gila. Biliknya ada tujuh biji, kenapa harus begini sih.
Kedua faksi tetap berusaha mendekatiku, meskipun aku sudah menolak tawaran mereka.
Melihat itu, Adel cekikikan.
“Profesor, Anda populer sekali ya.”
“……”
Tapi buatku, sama sekali nggak menyenangkan.
Karena aku harus tetap netral, mau tak mau.
Dan, berbanding terbalik dengan keinginan faksi Hitam dan Baekdo yang ingin merekrutku, ada juga pihak yang secara aktif memusuhiku.
Mereka adalah para dosen dari pihak “netral”, yang tidak punya kepentingan untuk memperebutkanku.
Sebenarnya sejak aku melerai pertengkaran antara Elise dan Marina tempo hari, mereka sudah mulai diam-diam membenciku, dan akhir-akhir ini perasaan itu makin terasa.
Malam itu, setelah aku menemui Eve sebelum terlambat,
Ketika aku sedang mengurus dokumen di kantor jurusan—
“Kalau dosen membunuh dosen, ya tetap salah.”
Seorang dosen melintas dan menyenggolku sambil melontarkan kata-kata itu.
● Dosen Netral: Collider
Di kantor, ada beberapa dosen lain. Mendengar itu, semua pandangan pun tertuju padaku.
Aku sempat berpikir sejenak, lalu menjawab.
“Apa-apaan itu. Silakan cek pengumuman dari departemen etika.”
“Hmph. Entahlah. Tapi kenapa aku harus percaya pada mereka yang suka tutup mata dan pura-pura nggak tahu?”
“Ya sudah, urus saja sendiri. Aku nggak tahu apa-apa soal itu.”
“Ya, begitu ya, Profesor. Tapi aku ingin kasih saran, bersikaplah dewasa. Kalau terus-terusan pamer kekuatan, bisa jadi masalah, tahu.”
“……”
Jujur saja, aku sudah tahu.
Kalau omonganku nggak bakal dianggap.
“Udah tahu kamu kuat, tapi jaga diri dikitlah. Emangnya cuma kamu yang bisa membunuh? Yang lain juga harus hidup bareng orang yang nggak disukainya.”
“Ngomong jaga diri segala. Aku aja nggak pernah macam-macam.”
“Ya ya, aku tahu. Duh, serem banget. Mau bunuh aku juga ya?”
Aku menatap mata Collider dalam-dalam.
“Mau kubunuh?”
“Apa?”
Collider refleks tersentak.
“Kamu barusan bilang apa…?”
“Bercanda kok.”
Sementara si dosen netral itu menggertakkan gigi sambil gemetar, aku pun membalikkan badan.
Di jurusan pembunuhan ini yang terpecah antara faksi Hitam dan Baekdo, ada dua alasan kenapa seseorang bisa tetap berada di zona abu-abu alias netral:
- Dosen hebat yang terlalu kuat untuk perlu bergabung dengan kelompok manapun.
- Dosen lemah yang tidak diterima oleh kelompok manapun.
Awalnya aku termasuk yang nomor 2. Tapi entah bagaimana sekarang aku hidup seolah-olah termasuk nomor 1.
Sedangkan Collider, dia jelas termasuk yang pertama. Dia seorang pendekar top 0.01% dengan peringkat [Master], dikenal luas karena latar belakang pendidikannya yang elit dan reputasinya di jurusan.
“Jangan terlalu diambil hati, Profesor Dante. Profesor Collider itu memang agak sensitif kalau menyangkut soal pembunuhan.”
Lucunya, kali ini malah dosen faksi Hitam yang menghiburku, meski bersamaan dengan itu ada pikiran yang kurang menyenangkan:
【 Dosen Hitam, Shark: “Tapi, akhir-akhir ini para dosen netral jelas-jelas makin benci sama Profesor Dante… Ya wajar sih. Nggak ada yang tetap netral karena mereka pengin. Sekarang tiba-tiba muncul profesor yang nggak punya nama, tapi dielu-elukan. Jelas mereka jadi dengki.” 】
Sepertinya para dosen netral merasa iri. Mereka merasa posisiku yang diincar dua faksi sebagai sesuatu yang tidak adil.
‘Apalagi, dosen-dosen senior faksi netral lagi mempersiapkan pelarian besar-besaran.’
Cerita utama perlahan tapi pasti makin mendekat.
‘Karena yang bisa kabur cuma para dosen senior, dosen seperti Collider yang bukan bagian dari mereka cuma bisa jadi bangkai yang ditinggalkan.’
Kalau dilihat lebih dalam, dia itu cuma korban nasib karena salah pilih sisi.
Ya, jujur saja aku juga nggak mau terlalu peduli.
Mereka mau benci, terserah saja…
Sementara itu, setelah bolak-balik terlibat dalam berbagai insiden, akhirnya aku mendapatkan sedikit waktu luang.
‘Sekarang saatnya mulai mencari para iblis dan mengumpulkan pecahan bintang.’
Meski terus diseret ke sana kemari dan kena macam-macam masalah, pikiranku cuma fokus ke hal itu.
Misi pembunuhan terhadap para iblis.
Dan dari situ, mendapatkan pecahan bintang.
Belum juga dimulai, tapi sekarang aku punya waktu, jadi perlahan bisa kujalankan.
Tapi pertama-tama, aku harus menemukan iblisnya…
Lalu, terjadilah hal yang sungguh tidak lucu.
Tempatnya berada di sekitar vila para dosen.
“Adele. Si brengsek itu siapa?”
Aku menunjuk pria yang berdiri di taman vila seberang dan bertanya.
Adele melirik pria itu dan membelalak.
“Eh… Itu Profesor Tokshin, dosen baru. Dia dipanggil ke sini dari faksi Hitam buat menggantikan posisi Profesor Hakon. Asalnya sih aku juga kurang tahu.”
Memang aku sudah menduga mereka akan datang cepat atau lambat.
Dan akhirnya, dia muncul.
“……”
“……Kenapa, Profesor? Kenal dia?”
Dia adalah iblis tanpa tanduk.
Makhluk itu telah menampakkan diri di akademi.
● Iblis Tak Bertanduk: Tokshin
Begitu melihatnya, aku langsung merasakan kemarahan membara dari dalam diri.
Mungkin ini karena sistem yang ditanamkan dalam diri pengguna. Sebuah rasa permusuhan alami terhadap musuh umat manusia.
Apakah aku mengenalnya?
“…Sepertinya, iya.”
Kalau harus dibandingkan, rasanya seperti melihat seekor ular menyelinap ke dalam tenda saat perkemahan, berniat menggigit anak-anakmu. Perasaan jijik dan benci yang murni.
Bukan jenis yang bisa diselesaikan dengan kompromi. Rasanya seperti harus mengambil batu dan menghantam kepala ular itu sampai mati.
‘…….’
Aku memang sudah memperkirakan dia akan datang. Aku juga tahu kami akan bertarung. Aku menginginkan pecahan bintang.
Tapi begitu melihatnya langsung, semua pikiran itu terdorong ke belakang.
Yang tersisa hanyalah rasa benci yang begitu kuat, sampai aku pun kaget pada diriku sendiri.
───
Scene #1 - Para Profesor
Scene #2 - Kaizer ◀
Scene #3 - Eve
Scene #4 - Dante Hiakapo
───
“Selamat datang, taruna.”
Atas ucapan sang orang tua, seorang pria muncul sambil terpincang dengan tongkatnya.
Pria itu membungkuk ringan, lalu duduk di hadapan sang orang tua dengan menyilangkan kaki.
“Terima kasih telah menerima saya.”
Identitas pria itu adalah Kaizer Truman.
Seperti hari ini, ia secara berkala bertemu dengan Dewan Tetua Kerajaan.
“Cuacanya cukup dingin, bukan? Mari minum teh.”
“Terima kasih. Hangat dan harum baunya.”
“Akhir-akhir ini bagaimana kabarnya? Secara pribadi, setiap kali bertemu dengan Taruna Kaizer, jantung saya selalu berdebar-debar. Hehe.”
“Kali ini sepertinya saya hanya bisa membuat Anda kecewa. Akhir-akhir ini saya hanya menanam sebatang pohon apel di halaman belakang Asrama Naga Tidur.”
Ketika percakapan ringan mulai mengalir di antara mereka, sang tetua kerajaan membenarkan kacamatanya.
Setiap kali melihatnya… pemuda ini selalu terasa berbahaya. Lahir bukan dari rakyat biasa, tapi dari kalangan budak. Dan meski berhadapan langsung dengan seorang tetua kerajaan berdarah bangsawan, ia tetap bisa bersikap setenang itu.
“Bolehkah saya bertanya sedikit tentang aktivitasmu akhir-akhir ini?”
Sang tetua dengan hati-hati memulai pembicaraan inti, namun Kaizer hanya tersenyum lembut.
“Akhir-akhir ini, semua orang sedang dengan tenang fokus pada studi mereka.”
Setelah beberapa percakapan lagi, sang tetua menghela napas dalam hati.
‘Sial, bocah licik satu ini…’
Biasanya, jika seorang anak muda mendapatkan kekuatan besar, dia akan cenderung menyombongkannya atau menyalahgunakannya. Tapi pria ini tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda seperti itu.
Dia menyembunyikannya dengan sangat rapat. Hanya memperlihatkannya saat diperlukan. Karena itu, pihak kerajaan masih belum bisa mengetahui seberapa kuat kekuatan Asrama Naga Tidur, atau apa sebenarnya tujuan mereka.
Padahal tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengetahuinya dan menggenggam kendali.
“Aku senang bisa berbincang.”
Akhirnya, pertemuan kali ini pun berakhir tanpa hasil apa pun.
Sang tetua, karena merasa frustrasi, membuka mulut kembali.
“Taruna Kaizer. Bolehkah aku memberikan satu nasihat, dari hati seorang kakek tetangga sebelah rumah?”
“Ya. Saya akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.”
“Jika kamu terus saja menyembunyikan semuanya seperti itu, kamu tidak akan bisa menerima bantuan dari siapa pun yang lebih tua. Dalam membangun hubungan antar manusia, penting untuk berbagi ketulusan satu sama lain, meskipun hanya sedikit.”
“Ah…”
“Aku tidak tahu pencapaian seperti apa yang ingin kamu raih, tapi kamu tidak bisa mencapainya sendirian. Anak-anak akan selalu menatap punggung sang pahlawan dan melangkah maju. Hanya dengan begitu mereka bisa menemukan jalan yang benar. Dan ketika sang pahlawan lelah dan tersungkur, mereka akan bisa meneruskan warisannya. Dalam hal itu, kamu, Taruna…”
Ceretan itu berlanjut sedikit lagi.
“Terima kasih atas nasihatnya.”
Kaizer membungkuk dengan sopan, lalu keluar.
Sebenarnya, nasihat itu tidak masuk sedikit pun ke telinganya.
Apa gunanya semua ini?
Dia bahkan tidak ingin berada di tempat itu sejak awal…
Namun, ada satu bagian dari ucapan sang tetua yang tertancap dalam benak Kaizer.
‘Jika kamu hanya terus menyembunyikan, kamu tidak akan bisa menerima bantuan dari orang dewasa mana pun.’
Dulu, Kaizer pun pernah merasa takut akan hal itu.
Dan ketakutan itu secara perlahan mulai menggerogoti batinnya.
Namun sekarang, sudah berbeda.
Anak-anak menatap punggung sang pahlawan dan melangkah maju?
“Itu benar."
Tetua itu tidak mengetahui satu hal.
Mungkin ia berbicara dengan harapan bahwa kerajaan akan menjadi sosok pahlawan bagi Kaizer.
Tapi Kaizer sudah menetapkan siapa sosok pahlawan yang akan ia ikuti.
Seseorang yang mendukungnya tanpa pamrih.
Seseorang yang bisa ia mintai nasihat sejati di saat-saat sulit.
Seseorang yang menjadi satu-satunya pahlawan baginya.
”……Profesor Dante Hiakapo."
Hari ini, Kaizer memutuskan untuk mengirim pesan padanya, setelah sekian lama.
- Kepada Prof. Dante: Halo, Profesor.
Bagi Kaizer, yang biasanya hanya berkomunikasi dengan orang-orang yang tak ia sukai, berkomunikasi dengan Dante adalah penyegar hati sekaligus suntikan dopamin terbaik.
- Kepada Prof. Dante: Halo, Profesor.
Namun tiba-tiba, ia mulai ragu. Bagaimana jika ia dianggap mengganggu karena terlalu sering mengirim pesan?
- Kepada Prof. Dante: Hal—
Kaizer memutuskan untuk menghapus pesan itu. Memberi salam seadanya seperti itu rasanya tidak pantas. Ia merasa seharusnya menghubungi Dante ketika ada sesuatu yang berarti untuk disampaikan.
“……”
Sampai di titik ini, Kaizer kembali merenung tentang makna dari ‘kebenaran’.
Membalas kebaikan orang yang telah mendukungnya—itulah kebenaran baginya.
Segalanya terasa baru bagi Kaizer.
Perasaan tidak jijik terhadap pembunuhan. Katarsis saat mengalahkan musuh. Dan lain-lain.
Namun yang paling baru adalah kenyataan bahwa untuk pertama kalinya dalam hidup, ia mengambil keputusan dengan inisiatif sendiri dan melaksanakannya.
Kepuasan batin yang ia rasakan dari hal itu juga merupakan hal yang belum pernah ia alami sebelumnya.
- Dante: Hal yang menurutmu benar, itulah kebenaran.
Baik itu kebaikan atau kejahatan, jika seseorang meyakini bahwa yang dilakukannya adalah benar, dan berhasil melaksanakannya—
Itulah kebenaran.
Sampai titik ini, Kaizer untuk pertama kalinya menatap ke dalam hatinya sendiri.
Jika hatinya adalah sebidang tanah, maka itu adalah kebun yang terbengkalai. Benih-benih yang dilempar sembarangan oleh orang lain tumbuh sesuka hati, dipenuhi semak liar dan tak terurus.
Ketika akhirnya ia menyingkirkan semak itu dan melangkah masuk, Kaizer berhadapan dengan sebidang tanah kosong yang sudah lama tak ia lihat.
Mungkinkah aku juga bisa menanam sesuatu di sini?
Apakah cukup hanya dengan mengalahkan musuh sang profesor? Dapatkah ia mengatakan bahwa dengan itu saja, ia telah menjalankan ‘kebenaran’? Jika tidak, mungkinkah ia bisa melangkah lebih jauh dari titik ini?
Tentu saja, sekarang belum waktunya. Masih banyak yang harus ia lakukan.
Namun, pemikiran ini telah menancap sebagai benih di dalam hatinya.
Tepat di tengah tempat di mana semak-semak itu telah disingkirkan.
“……”
Jika kelak hujan turun,
Suatu saat, di tanah yang tandus ini, tunas baru akan tumbuh.